TAMBATAN HATI

Najma Gita
Chapter #49

Epilog

Ray langsung menggosokkan bulunya di kakiku begitu aku membuka pintu apartemen. Kucing abu-abu itu akan terus mengikutiku kalau aku belum menyentuhnya. Ya, dia memang semanja itu. 


Aku mengambil mangkuk makan, mengisinya lantas menaruhnya di dekat sofa tempat aku duduk. “Makan dulu, gih!” Aku mengangkat tubuhnya dan menaruhnya di dekat mangkuk. Makin hari tubuhnya makin berat saja.


Aku lantas mengeluarkan ponsel dari saku jaketku. Siapa yang menelepon malam-malam begini. Mengganggu saja. Aku mengernyit waktu melihat ponsel di tanganku. Memang sama, baik merk maupun tipenya. Tapi aku yakin ini bukan ponselku. Astaga, pasti tertukar dengan ponsel Darryl. Kami meletakkannya berdekatan waktu makan siang di kafe tadi.


“Ryl, gue masih merasa bersalah sama Ray.” Suara Mike langsung terdengar sebelum aku sempat menyapanya. Mike pasti mengira Darryl sendiri yang mengangkatnya. Lebih baik aku diam saja. “Ini soal Tita.”


Tita? Apa hubungan Tita dengan mereka?


“Gue nggak bisa diam terus. Nggak benar kalau kita nggak bilang yang sebenarnya sama Ray. Ya, meski dia yang nyuruh kita menahan Ray supaya nggak pergi, tapi sebenarnya dia ingin Ray datang jemput dia. Tita nungguin Ray di teras pagi itu. Jim yang bilang. Gue nggak bilang setuju waktu Tita bikin rencana itu. Tapi apa pun yang gue bilang nggak bisa menggoyahkan keputusannya. Tapi kalau lihat Ray kayak gitu, gue jadi merasa bersalah banget. Sejak Tita pergi, Ray bukan Ray yang biasa. Senyumnya kosong. Puncak rasa bersalah gue pas di konser kemarin itu. Pas Ray nyanyiin lagu itu buat Tita. Tambatan Hati khusus dia ciptakan buat Tita. Gue yang bantu dia merekamnya tahun lalu. Kalau kita minta maaf sama Ray sekarang, apa dia mau maafin kita?”


Aku mematikan telepon tanpa mengatakan apa-apa. Aku tidak perlu mendengar lebih banyak lagi. Karena ponselku yang tertukar dengan ponsel Darryl, aku jadi tahu semuanya. Jadi begitu, ya? 


Demi aku, kamu mau ninggalin dunia kamu sekarang? Jadi kata-katanya waktu itu sebagai batas bagi dia. Ternyata dia sudah merencanakan sesuatu sebelumnya. Astaga, Tita! Padahal aku sudah bilang padanya, aku bisa meninggalkan dunia hiburan kapanpun kalau keberadaanku di sana membuatnya tidak nyaman. Kurang jelas bagaimana lagi, sih? Malah dia seenaknya sendiri membuat keputusan. Apa dia tidak tahu aku seperti orang gila mencarinya ke sana kemari. Hampir setiap hari aku berdiri di luar gerbang sekolahnya, menunggu dia pulang. Meskipun mendapat pelototan dari Sesil tiap kali bertemu, aku tetap datang ke sekolahnya setiap hari. Akhirnya Amanda memberitahuku kalau Tita pindah sekolah. Tapi dia tidak mau bilang kemana Tita pindah. 


Dengan putus asa aku mencari ke rumahnya. Tetangganya memberitahu kalau Tita dan keluarganya pindah dua minggu yang lalu. Dan rumah itu sekarang disewakan. Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang membuatnya mengambil keputusan itu. Dia membohongiku untuk yang pertama dan terakhir.


Hingga pada hari itu, sehari sebelum konser Blue, aku melihatnya keluar dari sebuah kafe bersama laki-laki remaja. Seragam yang mereka kenakan sama, jadi aku menyimpulkan kalau mereka satu sekolah. Seperti kesetanan, aku langsung menyuruh Jim menghentikan mobil dan langsung melompat keluar. Ternyata dia pindah ke Surabaya. Apakah ini seperti de javu?


Aku mengharapkan pertemuan kami akan ada adegan manis. Ternyata aku salah. Suasana canggung mewarnai pertemuan kami yang hanya sebentar. Aku hampir tidak bisa menahan emosi waktu dia mengakui cowok itu sebagai pacarnya. Aku cemburu. 


Entah aku merasa senang atau tidak waktu Pak Hotma memberitahuku kalau Tita berada di deretan penonton VIP. Akhirmya aku memutuskan membawakan lagu itu meski tidak ada dalam daftar lagu tour Blue. Sebagai salam perpisahan untuk Tita, kesayanganku. Aku tidak menyangka akan begini akhirnya.


*** 




Aku menaruh ponsel Darryl di meja. “Tertukar sama ponsel gue. Mungkin gue yang salah ambil kemarin.”


Mike langsung pucat. “Jadi yang angkat telepon gue sore tadi...”


“Gue,” jawabku singkat.


Mereka saling pandang. Aku tahu mereka merasa bersalah dilihat dari sikapnya. “Nggak usah dibahas lagi,” kataku lagi saat Mike hendak membuka mulutnya.

Lihat selengkapnya