Keesokan paginya, suara decit lembut dari jendela membuat Myran terbangun. Cahaya matahari yang menembus tirai kapal Cravheesea tak sehangat yang ia kira. Akan tetapi, bukan itu yang membuat dadanya menegang.
Melainkan Lysera, yang duduk bersila di lantai dengan tangan penuh luka kecil. Mengupas apel seperti tak terjadi apa-apa. Myran langsung menghampiri dan hampir menjerit.
"Apa kau sudah gila?" serunya, menarik tangan Lysera dan memeriksanya dengan panik. Beberapa goresan masih basah, sisanya memar membiru.
Lysera menoleh malas. "Santai saja, aku masih hidup kok."
"Aku tahu kau keras kepala, tapi ini ... kita masih di wilayah berbahaya!" Myran memperbaiki perban seadanya dengan tangan gemetar. "Kau bisa dipenjara, atau lebih buruk, mati!"
"Mereka menghina kita," sahut Lysera pelan. Namun, nadanya berat. "Untukku itu tidak masalah, tapi tidak jika menyangkut kamu."
Myran terdiam.
"Aku bersumpah," lanjut Lysera lirih, tapi tegas. "Sampai mati pun aku tak akan biarkan siapa pun melecehkan namamu."
Myran menahan napas. Kata-kata itu bukan sekadar kemarahan. Ada luka dalam, ada cinta sebagai sahabat atau mungkin sesuatu yang bahkan Lysera sendiri belum sadar.
Ia menarik Lysera ke pelukannya. Memeluk erat sahabatnya yang keras kepala itu sambil tersenyum.
"Lysera ... lain kali, tahan diri. Berjanjilah."
"Aku coba," gumam Lysera malas, meski kemudian mengangguk kecil.
Lalu, suara ketukan terdengar dari pintu kayu. Seorang prajurit berseragam masuk sebagian, menjaga jarak hormat.
"Kami mengundang kalian untuk sarapan di geladak bawah. Tamu kehormatan akan berkumpul bersama dengan semua prajurit."
Lysera melirik ke arah pintu, lalu ke Myran. "Aku ikut asal tidak ada wajah menjijikkan di meja makan."
Myran menggeleng sambil tersenyum. "Itu artinya kau harus makan sendiri."
Lysera menyeret kakinya dengan malas. Mengikuti langkah Myran yang anggun bak putri sesungguhnya. Terkadang Lysera berpikir apakah identitas mereka memang benar-benar tertukar. Kepribadian mereka sungguh bertolak belakang dengan status yang mereka sandang.
Begitu tiba di geladak, tatapan Lysera seketika menajam. Ia langsung berdiri di depan Myran. Tegak dengan tangan yang terkepal di sisi tubuh. Seakan refleksnya sebagai mantan Komandan Pasukan Tengah Kemiliteran Vyctrosius seketika aktif.
Darrec yang sudah berada di ujung meja panjang berdeham dengan tangan bersedekap.
"Duduk!" Perintahnya dengan nada rendah.
Namun, Lysera enggan. Menahan langkah Myran di belakangnya dengan tangan yang terulur.
"Ini adalah budaya kami. Makan bersama. Menyelesaikan permasalahan tadi malam dengan kepala dingin."
Lysera tertawa sinis. "Menyelesaikan dengan kepala dingin, huh? Apakah kalimat ‘ingin melindungi di bawahku dan bergumul semalam suntuk di ranjang yang panas’ itu bisa diselesaikan dengan makan bersama dengan kepala dingin?"
Myran menahan napas di belakangnya, sementara seluruh ruangan tiba-tiba dibekukan oleh kata-kata Lysera. Suara ombak pun terasa terlalu jauh untuk jadi alasan pengalih perhatian.
Beberapa prajurit menunduk. Ada yang menggertakkan rahang. Ada yang menahan tawa, tapi tak satu pun berani mengangkat wajah.
Darrec tetap tak bergerak. Hanya mata birunya yang menajam, menusuk balik Lysera yang masih berdiri tegak bagai perisai hidup di depan Myran.
"Ucapan seperti itu hanya akan memancing permusuhan," kata Darrec dingin. "Dan aku kira kau sudah terlalu banyak membuat keributan di kapal ini."
"Saya hanya menyuarakan fakta," sahut Lysera. "Dan fakta itu membuat perut saya mual jauh sebelum makanan disajikan."
"Jadi kau menolak duduk?"
"Saya menolak berpura-pura," jawab Lysera cepat. "Menolak berpura-pura bahwa semua baik-baik saja hanya karena kalian punya meja makan yang mengilap."
Darrec akhirnya melangkah. Suara sepatunya menghantam lantai geladak seperti dentang waktu yang tak bisa ditunda. Ia berdiri hanya beberapa langkah di depan Lysera. Lebih tinggi. Lebih besar, tapi tak sekali pun membuat Lysera mundur.