Di kedalaman laut Cravheesea yang nyaris membekukan tulang, tubuh Darrec bergetar. Bukan karena dingin, melainkan karena perubahan yang tak dapat ia hindari.
Sirip keemasan berpendar kebiruan menjulur dari kakinya, menyatu menjadi ekor panjang yang berkilau seperti safir basah. Kulitnya menyala redup dalam pantulan cahaya bawah laut, dan di sisi wajahnya, insang mulai terbuka perlahan.
Ia telah berubah.
Bukan lagi pria setengah laut, setengah darat. Melainkan wujud murni dari kaum duyung Cravheesea. Satu bentuk yang hanya akan muncul ketika resonansi jiwa Almavoia—ikatan suci antara dua takdir—terpicu secara mutlak.
Sial! Darrec menggeram dalam hati. Kenapa harus dengan gadis beringas ini?! Kenapa?!
Akan tetapi, bahkan amarahnya kini tak mampu menutupi gejolak liar di dalam dadanya. Hasrat posesif yang tak pernah ia izinkan tumbuh, kini justru mekar di bawah tekanan hidup dan mati.
Lysera.
Gadis itu terapung dalam bisu. Rambutnya mengepul seperti tirai kelam di air yang mengalir pelan. Wajahnya pucat. Bibirnya membiru dan tubuhnya telah kehilangan daya.
Jangan mati! Kau belum jadi milikku! seru batin Darrec, frustrasi. Panik. Takut.
Tangannya meraih tubuh Lysera. Menggoyangkan bahunya. Mengguncang dengan kekuatan yang justru menyakitkan bagi dirinya sendiri karena Lysera tetap tak bergerak.
Pikiran Darrec kacau.
Untuk pertama kalinya, Sang Komandan Laut kehilangan kendali.
Ia memejamkan mata.
Cahaya keemasan menyelimuti tubuhnya. Riak energi menyebar seperti pusaran dan dari bibirnya, perlahan muncul sebutir mutiara. Jernih. Kecil. Namun, di dalamnya bergulir aliran sihir berwarna perak kebiruan. Mutiara Kehidupan.
Satu-satunya bentuk sihir paling purba dari bangsa Cravheesea yang hanya bisa diberikan sekali seumur hidup. Untuk satu jiwa. Satu pasangan. Satu takdir.
Kau harus hidup, gadis gila! Jika kau mati, aku pun akan menyusulmu. Meski aku tak pernah mau mengikat diriku pada siapa pun.
Namun, kau telah mencuri denyutku dan aku ... tak sanggup mengambilnya kembali.
Dengan kedua tangan yang kini tak lagi hanya milik seorang prajurit, tetapi milik seorang pria yang telah menyerah pada satu takdir—Darrec, merengkuh tubuh Lysera.
Ia mendekapnya.
Bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk menyatukan.
Di antara pusaran arus dan nyala sihir, Darrec membisikkan sebuah kalimat dalam bahasa kuno Cravheesea.
Mantra Ikrar Almavoia.
Sebuah sumpah hidup-mati. Sebuah kontrak magis yang bahkan para Dewa pun enggan membatalkannya.
Lalu, perlahan ... bibir Darrec mendekat ke bibir Lysera yang membiru.
Saat mutiara itu berpindah, ketika kehangatan dan denyut kehidupannya menyatu dengan napas Lysera yang hampir padam, lautan pun bergelora.
Permukaan air menyala. Ombak melonjak ke langit. Cahaya keemasan membelah kegelapan seperti ledakan dari dasar dunia. Para prajurit di atas kapal terperanjat. Bahkan langit yang semula mendung kini memantulkan cahaya aneh yang tak seharusnya muncul di tengah laut.
Dua jiwa yang saling membenci.