Tamu

Vivianhervian
Chapter #2

Kurniawan Guesthouse

1 bulan yang lalu…

Jam dinding milik keluarga Kurniawan menunjukkan pukul 17.30. Di sofa terselonjor kaki anak pemilik rumah. Tangannya ditaruh di atas lengan sofa sambil menopang dagu. Bosan, Elena menekan tombol on pada remote TV. "Beralih ke berita selanjutnya, 5 orang dikabarkan keracunan setelah mengonsumsi makanan serta minuman milik Kurni Food," baca si pembawa berita. "Ratna mengaku baru saja membeli yogurt bermerek Kurni Food, sekitar 8 jam kemudian perutnya sakit dan buang air terus menerus. Keluhan yang sama juga dirasakan anaknya—”

Jlep… layar TV hitam setelah Martin mematikannya. “Iya mungkin kelalaian kita tapi bukan berarti harus diulang-ulang juga kali,” ucap Martin kecut. “Tapi aku bingung deh, Kak. Udah 20 tahun perusahaan kita berdiri kok bisa sih ada kasus kayak gini?” Elena menekuk kakinya agar Martin bisa ikut duduk. Tak lama kemudian Hendra, papa mereka pulang dan berkata, “Panggil seluruh keluarga ke sini.” Elena dan Martin langsung menoleh dengan ekspresi khawatir. Bi Siti memanggil nyonya rumah. Anting emas Eva berjuntai-juntai sembari menuruni tangga. Satu langkah kaki menyusul dari belakang Eva, yang tak lain adalah Tia, sepupu mereka. Lain hal dengan Darrel, yang justru keluar dari gudang.

Setelah semuanya duduk, Hendra mulai bicara. Seperti yang diketahui bersama, perusahaan Kurni Food sedang diterpa berita tak sedap dan kasus ini masih dalam penyelidikan. Hendra telah membaca Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 terkait perlindungan konsumen. Di bab VI pasal 19 dijelaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Hal tersebut tidak masalah bagi keluarga bermarga Kurniawan ini. Namun berita yang bertebaran di masyarakat membuat daya beli berkurang sehingga pendapatan pun menurun 35%. Untuk menutupi kerugian ini, ide cemerlang muncul di kepala Hendra yaitu membuka usaha di bidang lain tetapi usaha apa yang tidak memakan banyak modal?

“Gimana kalau laundry?” Nenek datang dari arah kebun.

Ck… nenek ini gimana sih? Di kompleks Sutera Indah? Laundry?” Tia tertawa. “Mereka udah punya mesin cuci semua kali atau bahkan udah punya laundry langganan.”

Mereka berpikir lagi.

“Kalau coffee shop gimana?” usul Martin.

“Mmm… milenial banget sih tuh. Kita bisa kasih nama-nama unik kayak ‘kopi curhatan mantan’, ‘kopi bestie’, ‘kopi istri orang’, ‘kopi nikung temen’.”

Elena memutar bola matanya. “Haih.”

“Kenapa, Len? Ada yang salah sama ideku?” Belum sempat dijawab Tia melanjutkan “Kak Darrel bantuin dong! Diem-diem bae.”

“Aku gak ikutan kalau soal ginian.” Darrel keluar rumah dan pergi dengan motor bututnya.

“Lihat attitude anak itu! Enggak sopan,” keluh Eva.

Hendra hanya menggelengkan kepala.

“Kita harus memanfaatkan sumber daya yang ada,” Tia mengelus-ngelus dagunya.

Enggak sia-sia Tia masuk SMA IPS, ide bisnisnya keluar juga.

“Bi Siti tolong ambil pulpen dan buku.” Bi Siti memberikannya pada Tia. Ia mulai menulis barang-barang yang bisa menghasilkan uang: mesin cuci, pakaian, peralatan masak, AC, dan kulkas. Tuk tuk tuk… Tia mengetukan penanya ke buku. “Perhatian semuanya ini daftarnya. Pakaian bisa dijual, peralatan masak buat resto, kulkas buat jualan es krim, dan AC… mmm fasilitas tambahan.” Martin dan Elena memberi tepukan. Tia menunduk ala bangsawan “Terima kasih, terima kasih.”

Lihat selengkapnya