Sekitar 2 minggu rumah megah mereka direnovasi. Renovasi? Bukankah itu butuh biaya? Seperti trik yang digunakan soal inap-menginap, mereka menggunakan trik hebat lainnya yaitu menyekat 1 kamar sehingga menjadi 2 kamar. Paling biaya tambahannya cuman single bed. Alhasil rumah keluarga Kurniawan memiliki 7 kamar, 3 kamar untuk anggota keluarga dan 4 kamar untuk tamu. Kamar tamu pun terbagi lagi 3 kamar standard dan 1 kamar large.
Selama 2 minggu itu, Elena menghitung hari dengan mencoreti tanggal kalender.
"Tia, jangan taruh barangmu di sini. Ingat wilayah perbatasan kita." Elena menunjuk garis yang terbuat dari lakban hitam.
Dengan pasrah, Tia memindahkannya.
Di tempat lain, Martin menyadari bahwa Darrel tidak seburuk prasangka dia dan ibunya. Darrel memiliki teman yang baik yang mengizinkannya menginap. Setidaknya Martin adalah saksi bahwa Darrel serius dalam kuliah.
Hari-hari terus berlalu. Tampak perubahan, garis hitam di kamar Elena dan Tia sudah tidak ada. Mereka mulai terbiasa tinggal sekamar. Darrel dan Martin juga lebih sering bicara.
"Kita pamit dulu ya. Thank you banget udah bolehin kita nginep." Martin menarik kopernya.
"Anytime bro. Kamu balik, Dar?"
"Iye bro. Kalau enggak kena amuk nanti sama papanya Martin." Baru kali ini omongan Darrel bernada.
"Hahaha." Kapan-kapan ke sini lagi ya." Teman Darrel menepuk pundak Martin.
Tin...tin... terdengar suara gumaman yang kian semakin jelas.
"Kak Martin!" Panggil Elena.
"Kak Darrel!" Panggil Tia.
Martin dan Darrel cepat-cepat masuk ke mobil. Habis sudah waktu penantian mereka, keluarga Kurniawan balik ke rumah mereka untuk mempersiapkan hal-hal kecil lainnya. Pasukan Kurniawan pun dikerahkan. Bi Siti mencuci seprai-seprai. Martin memvakum kasur. Tia dan Elena memasang gorden.
Ting tong…
“Haruskah di saat seperti ini?” protes Tia yang hampir selesai.
“Biar aku saja yang buka.” Elena turun dari kursi yang berfungsi agar ia bisa menggapai tiang gorden.
Di lantai bawah ada Bi Siti yang juga mau membuka pintu. Namun dirinya masih sibuk menata dapur dan meja makan untuk tamu. Maka Elena mendahuluinya.
Clek… “Gorden yang krem ya?” tanya Elena yakin.
“Waduh saya kurang tahu, Neng. Saya cuman mengantar.” Pengantar paket tersebut menyerahkan. “Silakan tanda tangan di sini.”
Elena merasa bingung. Yang jelas ini bukan pengantar online shop, ini pengantar paket biasa. Tapi dari siapa ya? Ia hanya mendapati selembar kertas bertuliskan alamat rumahnya.
"Saya permisi, Neng."