Kampung Alas Rejo, Semarang, tahun 1994. Saat itu selain kemiskinan, minimnya pendidikan juga menjadi sebuah ironi yang menggugah impian dari seorang gadis bernama Rani—satu-satunya remaja di kampung itu yang menyelesaikan pendidikan hingga tamat SMU. Apakah itu artinya keluarga Rani berkecukupan, dan lain dari pada yang lain? Tentu tidak. Pasalnya untuk melanjutkan sekolah di jenjang SMU saja Rani harus bertengkar hebat dengan kedua orang tuanya. Lalu, sekarang di tengah gempuran surat undangan pernikahan teman-teman sebayanya yang datang silih berganti, Rani harus berdebat dengan kedua orang tuanya lagu untuk melanjutkan ke jenjang kuliah.
“Kau hanya seorang perempuan, tidak penting setinggi apa pendidikanmu! Toh, ujungnya juga hanya berakhir di dapur! Wanita itu tidak wajib memiliki gelar sarjana. Tugas seorang wanita hanya masak, macak, manak! Itu saja!”
Tangan Rani mengepal hingga gemetaran, selaras dengan bibirnya yang saat ini berusaha untuk tidak meledakkan kalimat-kalimat kasar yang bisa saja menjadi bumerang jika Rani bebaskan.
“Bapak benar, tapi Rani ingin melanjutkan kuliah bukan semata-mata ingin mendapatkan gelar semata, Pak. Rani ingin mematangkan ilmu Rani agar dapat mementaskan penduduk kita dari kebodohan,” sanggah Rani.
“Ndak usah mimpi terlalu tinggi! Akan sangat sakit jika nanti kamu terjatuh! Pokoknya Bapak ndak setuju kalau kamu melanjutkan kuliah! Bapak sudah memilihkan jodoh yang tepat untukmu, sebelum kamu benar-benar mempermalukan Bapak dengan gelar perawan tua!”
Meski jawaban sang bapak sudah sangat jelas dan tegas, tapi Rani tetap tidak ingin menyerah kalah begitu saja dalam perdebatan malam itu.
“Jika Bapak hanya takut jika Rani mempermalukan Bapak dengan gelar perawan tua yang otomatis masyarakat tempelkan pada Rani, maka Rani akan merantau ke jakarta sekalian. Dengan begitu, mereka tidak akan tahu tentang Rani yang menikah atau belum.”
Ternyata jawaban Rani tersebut justru membuat sang bapak jauh lebih murka. Bahkan ibunda Rani yang sedari tadi diam pun turut memekik serempak dengan sang bapak.
“Rani!”
Sejurus kemudian sang bapak melayangkan sebuah tamparan ke pipi kiri Rani. Alih-Alih menangis, Rani justru balik memelototi bapaknya. Seakan menegaskan perlawanan.
“Apa kau pikir untuk kuliah tidak butuh biaya besar? Apa lagi pergi ke kota besar, itu malah lebih berbahaya, apa lagi kamu seorang perempuan, Nduk ...!” timpal sang ibu yang kini meremas sepasang bahu Rani, saat sang bapak berpaling setelah memberikan tamparan itu pada putri semata wayangnya. Wajah sang ibu begitu cemas, sampai air mata mulai menggenang.
Namun, berbanding terbalik dengan wajah Rani yang justru tampak dingin tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
“Bu, apa selama ini Rani pernah meminta biaya sekolah pada Ibu dan Bapak? Sejak SMP, Bapak dan Ibu tidak pernah sekalipun merestui langkah Rani. Tapi, apa Rani menyerah? Kalau memang impian Rani hanya khayalan Rani semata, tentu Rani tidak akan sekeras ini mengupayakannya, ‘kan? Untuk kali ini saja, Bu. Rani mohon ... berikan restu Bapak dan Ibu. Hanya restu, karena Rani sudah menabung untuk biaya kuliah Rani.”
Hanya hening. Kedua orang tua Rani tak bersuara lagi. Sang ibu yang hanya menunduk sedih, dengan deraian air mata yang tak terbendung lagi, dan sang bapak yang mulai melangkah pergi, dengan memperlihatkan kesedihannya dengan punggung yang agak bungkuk.