Semarang, Kamis 9 Juni 1994. Pukul 05:00 dini hari. Saat cahaya aram di ufuk timur mulai muncul—sebagai penanda bahwa sang mentari mulai naik dari cakrawala. Keheningan selepas subuh perlahan gaduh oleh dentingan wajan yang siap untuk digunakan mengolah bahan sarapan.
Suara gaduh di dapur, juga membuat Rani bergegas melipat mukenanya. Tak sabar untuk menemui sang bunda dan meminta restunya lagi. Berharap pagi ini sang ibu sudah berubah pikiran.
Namun, langkah semangat Rani melambat ragu mana kala ia sudah berada di mulut pintu dapur. Wajahnya memanas. Dalam waktu singkat air matanya pun jatuh--menjebol keteguhan hatinya. Punggung tua yang sebentar lagi akan renta itu, mengoyak hati Rani.
Niatnya goyah, bahkan sebelum ia memulai. Suara isaknya membuat sang ibu menoleh dan mengerutkan alisnya yang mulai beruban. Rasa takut, rasa bersalah, dan rasa cinta yang tak terhingga menggelora dalam hatinya. Isak tangisnya menjadi semakin keras, membuat sang ibu terkejut. Belum sempat bibir sang ibu mengucap tanya, tiba-tiba Rani berlari ke arahnya dan memeluk erat tubuh sang ibu. Tanpa kata--hanya isak tangis. Rani menangis karena tiba-tiba ia merasa berat meninggalkan ibunya, ia bersalah karena tak bisa melakukan lebih banyak untuk ibunya, dan ia menangis karena cintanya yang tak terhingga kepada ibunya.
“Kalau kamu terus memeluk tubuh Ibu seerat ini, maka wajan Ibu akan gosong, dan cacing dalam perutmu yang sudah kelaparan, tidak akan berhenti berunjuk rasa.”
Rani langsung melepaskan pelukannya sambil terkekeh dan berseloroh, "Toh cacingnya tidak akan bisa sampai berbuata anarkis."
Meski begitu, sebenarnya Rani takut jika ibunya akan marah. Sementara sang ibu langsung membalikkan badan dan segera melanjutkan pekerjaannya menggoreng tempe. Rani pun menghela napasnya, ia tahu bahwa ibunya masih marah padanya. Lalu, gadis manis berkulit sawo matang itu berusaha untuk menenangkan ibunya dengan mengucapkan kata-kata yang lembut. “Bu ... setelah Rani pikir-pikir, benar kata Ibu. Tidak seharusnya Rani bersikap kepala batu menuruti nafsu. Egois tanpa memikirkan keadaan dan kondisi Ibu. Rani ....”
“Memangnya Ibu kenapa? Kenapa ucapanmu seolah-olah mengatakan bahwa Ibu sudah renta atau sakit keras?” sanggah sang ibu. Memotong ucapan putri tercintanya.
Rani terkesiap mendengar tanya sang bunda, buru-buru ia ingin menjelaskan maksud ucapannya barusan, tapi sang ibu langsung menimpalinya lagi.
“Jaga dirimu baik-baik di sana. Jangan mudah percaya pada orang yang baru kau temui. Dan kau juga harus ingat bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Tidak ada orang baik murni yang memberi pertolongan atau bantuan tanpa niat lain. Apa lagi di kota besar. Jadi ... jangan mudah percaya atau menerima kebaikan orang lain sekalipun kau mengenalnya dengan baik. Mengerti?”