Tan Hua Di Kolam Darah

LaVerna
Chapter #3

Chapter #3. Menginjakkan Kaki di Bumi Asing


Terminal Karangjati, Ungaran 9 Juni 1994 pukul 10:30

Diantar sang paman menggunakan motor bebek merah dengan mesin 2-tak, dan cc yang tidak sampai 100, Rani tiba di terminal Karangjati. Sesaat rasa sedih lantaran perpisahan memudar, tatkala dirinya menyaksikan ramainya terminal. Di tambah lagi saat sang paman menyeru, “Sepertinya itu bus yang akan kau naiki sudah tiba!” Sambil menggunakan telunjuknya menunjuk ke arah sebuah bus antarkota antarprovinsi yang baru saja tiba di terminal. Setelah memastikan kebenarannya pada agen tiket, sang paman pun memandu Rani dan membantu Rani menaikkan tasnya ke dalam bus.

“Jaga dirimu baik-baik. Jangan mudah percaya pada orang yang baru kau kenal, dan kalau bisa jangan bicara sembarangan pada orang kecuali benar-benar penting. Perjalanan ke kota cukup lama, jadi kau bisa tidur. Jangan lengah pada barang-barang berharga yang kau bawa. Lalu ....” 

Rani terkekeh geli mendengar pesan-pesan perpisahan dari sang paman yang panjangnya melebihi omelan ibunya.

“Ada apa? Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?” tanya paman Rani yang menyadari tawa geli keponakannya.

“Tidak ada.” Rani menghentikan tawanya. “Hanya saja ... baru kali ini aku melihat Paman yang biasanya pendiam, tiba-tiba jadi cerewet seperti ibu,” lanjutnya lagi.

Setelah meletakkan tas hitam yang berisikan pakaian milik rani di bagasi dalam bis yang berada persis di atas kepala tempat duduk Rani, sang paman pun duduk sebentar di kursi kosong samping Rani.

“Kalau saja ibuku masih sehat, dan tidak mendesakku untuk segera menikah, aku pasti akan menemani dan menjagamu menempuh pendidikan di ibukota. Sayangnya ....” ungkap sang paman seraya mengelus kepala keponakannya itu. Tergambar jelas dari tatapan mata sang paman yang tampak menyesal dan cemas untuk melepas keponakannya ke kota besar seorang diri.

“Paman jangan cemas. Rani bisa menjaga diri. Sebaliknya, Paman fokus saja menjaga nenek agar nenek panjang umur dan turut merasa bangga saat cucunya ini kembali membawa kesuksesan,” balas Rani. Tak lama kemudian salah seorang penumpang yang merupakan pemilik tempat duduk yang ditempati paman Rani itu tiba. Pun dengan kernet bus yang berteriak sambil menyisiri bangku penumpang, guna memastikan bahwa penumpangnya sudah komplit.

“Jangan lupa untuk segera mengirim surat begitu sampai di sana!” seru sang paman untuk yang terakhir kalinya.

 Tepat pukul 11:25 bus mulai melaju meninggalkan terminal Karangjati. Deru lajunya bagai irama mars yang menohok ulu hati Rani. Bayangan senyum, canda tawa, dan perdebatan dengan orang-orang terdekatnya di waktu lalu mulai bermain di benak Rani. Bahkan nasihat-nasihat yang belum lama ini dia dengar pun terngiang semakin jelas, membuat tanggul keteguhannya runtuh, hingga air matanya menetes tak tertahan.

“Aku bersumpah. Aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang kalian berikan padaku,” batin Rani. Tekadnya semakin kuat, selaras dengan perih perpisahan yang mencabik-cabik hatinya.

Meski perjalanan menuju ibukota cukup panjang, hingga menerjang malam, tapi tak sekalipun Rani mampu memejamkan matanya. Seakan kantuk enggan menghampiri Rani. Padahal penumpang di sekelilingnya sudah terlelap.

 Kurang lebih sudah sepuluh jam telah berlalu. Setelah awalnya sempat mengira sudah sampai di ibukota, padahal saat itu bis yang Rani tumpangi hanya istirahat, kini akhirnya dia benar-benar tiba di ibukota. Tepatnya di terminal Pulogadung, Jakarta Timur.

Meski Rani tiba di terminal saat malam telah larut. Tepatnya pukul 22:40, tapi suasana di terminal malam itu masih lumayan ramai. Wajar, sebab saat itu terminal Pulogadung merupakan terminal terbesar di Jakarta Timur.

Bingung, hanya satu kata itu yang dirasakan Rani. Kini Rani sudah berada di kota asing. Seorang diri—tanpa kerabat maupun kenalan, yang bisa menjemput atau menampung Rani sementara. Kota besar yang riuhnya, jahatnya, hanya mampu ia imajinasikan dari yang dia dengar dan beberapa buku, serta koran yang dia baca.

“Ah ... Jakarta. Akhirnya aku sampai di sini. Sekarang apa?”

Luntang-lantung dengan menggendong tas ransel dan membawa tas jinjing lumayan besar, meski sebenarnya isi tas besar itu hanya sedikit. Rani berjalan tanpa arah sambil celingak-celinguk. Entah apa yang dia cari.

Lihat selengkapnya