Benar saja. Pada pertengahan tahun 1997 harga komoditas pokok pelan-pelan mengalami kenaikan. Pun dengan biaya kuliah Rani. Hal itu sempat membuat resah keluarga Rani di kampung. Bahkan kedua orang tua Rani sempat meminta Rani untuk berhenti kuliah saja. Tentu saja Rani menolak, dan lebih memilih untuk melanjutkan perjuangannya. Dia bahkan meyakinkan pada kedua orang tuanya bahwa keadaan itu hanya sebentar, dan akan membaik seperti sedia kala.
Namun, sayangnya kali ini Rani salah. Seiring berjalannya waktu, perekonomian negeri ini tidak membaik, tapi justru mengalami krisis moneter. Kurs dollar yang awalnya senilai 2.600 rupiah di tahun 1997, melejit menjadi 14.800 rupiah di awal tahun 1998. Tentu hal itu juga membuat harga komoditas pokok kian mencekik rakyat. Lalu, apa hal itu juga berpengaruh pada usaha Koh Alim? Ya. Usaha Koh Alim juga terkena imbas akibat naiknya harga. Terutama dengan usaha toko kelontongnya. Hampir setiap hari Koh Alim mendapat protes dari pembeli karena harga beras yang mereka anggap mahalnya tidak masuk akal.
Meski begitu setiap kali berada di rumah, Koh Alim tak pernah sekalipun membahas perihal usahanya. Sehingga di mata Rani, baik sedang terjadi krisis moneter atau tidak, keharmonisan keluarga Koh Alim tetap sama saja. Sungguh berbanding terbalik dengan keadaan di luar. Buruknya kondisi ekonomi kala itu bagaikan kobaran api yang membakar belukar. Dampaknya begitu cepat terjadi di depan mata.
Tutupnya perusahaan-perusahaan besar mengakibatkan melonjaknya pengangguran. Pun kemudian disusul dengan naiknya tingkat kejahatan.
Di tengah kondisi karut-marut di kota dalam menghadapi krisis moneter, datang pula surat untuk Rani yang tentunya berasal dari kampung halamannya. Surat dari Ayahanda tercinta yang berisi ucapan maaf karena tidak bisa lagi membantu Rani untuk membayar kuliah. Lalu di bagian tengah isi surat itu juga mengabarkan tentang panennya yang merugi akibat kekeringan yang berkepanjangan, dan serangan hama. Namun, lagi-lagi surat itu ditutup dengan permintaan pada sang putri tercinta untuk kembali ke kampung.
Ya! Sejak Rani mengabarkan bahwa situasi perekonomian di kota sedang tidak baik-baik saja, dan Rani memilih bertahan, serta permintaan maaf Rani karena mungkin tidak bisa lagi mengirim sedikit uang ke kampung, sejak saat itu setiap bulannya ayahnya Rani rutin mengirimkan uang untuk membayar kuliah, dan bertahan hidup di kota.
Lalu, apakah kali ini Rani mulai berubah pikiran dan menyerah setelah mendengar kabar dari kampung? Masih belum. Rani merasa sayang karena saat ini dirinya tengah menunggu sidang skripsi. Namun, nyatanya duri-duri tajam justru tumbuh semakin liar menghambat jalan yang ia tapaki saat ini.
Lambatnya para petinggi negara dalam menangani krisis moneter yang melanda bumi pertiwi kala itu berujung pada meledaknya kesabaran para rakyat biasa. Terutama para mahasiswa. Tanggal 12-Mei-1998, para mahasiswa di kampus tempat Rani menimba ilmu berbondong-bondong turun ke jalan. Beberapa dari mereka juga membawa spanduk berwarna hitam. Tentu saja Rani yang kala itu sangat fokus dengan kuliahnya, seperti seorang cupu yang ketinggalan berita. Ya! Dia tidak tahu-menahu tentang banyaknya mahasiswa yang turun ke jalan untuk menyuarakan keluhan, aspirasi dan reformasi mereka pada pemimpin negeri ini.
“Ada apa ini? Dan ke mana mereka akan pergi?” tanya Rani pada salah satu temannya.
“Tentu saja ke gedung DPR! Kau tentu lihat dan dengar, bukan? Apa yang mereka inginkan! Enak saja mereka berleha-leha di tengah krisis seperti ini, dan membiarkan kita rakyat kecil semakin tercekik oleh krisis!”
Jawaban dari teman Rani itu tampak berapi-api. Bukan hanya semangat, tapi amarah, kekecewaan, dan setitik harapan tersirat dari pancaran matanya. Namun, tiba-tiba dia menyadari adanya sesuatu yang aneh dengan pertanyaan Rani, dan langsung berceletuk, “Bagaimana bisa kau tidak tahu hal serius seperti ini? Apa mungkin karena hidupmu terlalu nyaman?”
Jelas saja Rani langsung menyangkal tuduhan temannya itu. Meskipun dia tampak diam, tenang, dan bahkan sampai tidak tahu tentang adanya acara demonstrasi itu, sejatinya Rani hanya memilih untuk menahan, dan berusaha tetap fokus pada kuliahnya yang hanya sebentar lagi.