Berkat kekuatan media, utamanya siaran Radio yang memang kala itu masih mampu dimiliki rakyat kecil, kabar tentang kerusuhan yang menelan nyawa empat mahasiswa tersebut rupanya juga begitu cepat sampai ke kampung halaman Rani. Malam itu, seperti biasa Ayahanda Rani tengah menyiapkan peralatan untuk pergi ke sawah besok pagi sambil mendengarkan Radio sebagai penghiburan. Didampingi Ibunda Rani yang juga sedang menyiapkan bahan makanan untuk diolah esok hari. Hal itu biasa mereka lakukan agar keesokan paginya tidak terlalu buru-buru.
Serupa dengan reaksi Rani dan keluarga Koh Alim saat mendengar berita itu, mereka berdua pun juga langsung menambah volume suara radionya dan fokus menyimak berita. Sampai akhirnya saat sang penyiar mengatakan bahwa kejadian itu menyebabkan tewasnya empat mahasiswa, Ibunda Rani langsung menjerit histeris dan jatuh pingsan. Seketika Ayahanda Rani panik dan berteriak minta tolong.
Para tetangga yang mendengarnya pun bergegas lari ke rumah orang tua Rani. Sesampainya di rumah orang tua Rani, mereka terperangah menyaksikan Ayahanda Rani yang duduk gemetaran, sambil menangis di samping tubuh istrinya yang saat itu tengah tak sadarkan diri. Pemandangan itu membuat tiga orang tetangga yang datang memiliki pikiran buruk, hingga salah satu di antara mereka mendekat, dan langsung memeriksa denyut nadi Ruminah—Ibunda Rani.
“Ijeh urip ...,” katanya spontan, ketika mengetahui bahwa ternyata Ruminah hanya pingsan. Dua orang di antara mereka segera memindahkan Ruminah ke sebuah dipan yang ada di ruang tengah. Sementara itu, seseorang lainnya mencoba menenangkan Suhadi—Ayahanda Rani. Setelah dirasa cukup tenang, pria paruh baya yang merupakan tetangga Suhadi pun kemudian bertanya, “Apa yang terjadi? Kenapa Yu Ruminah bisa sampai seperti itu? Apa kalian bertengkar?” Dengan dialek jawa yang khas.
Suhadi tampak linglung—membuat si penanya semakin bingung. Lalu, tiba-tiba Poniman—adik kandung Suhadi yang dulu mengantar Rani ke terminal datang setelah mendengar laporan dari salah satu tetangga Suhadi. Seketika tangis Suhadi pecah.
“Prunanmu, Man ... prunanmu ...,” ratap Suhadi yang kini lemah memeluk sang adik. Pria yang tampilannya sangar dengan kumis tebal, dan dikenal sebagai orang yang tegas itu kini tampak tak berdaya.
“Rani kenapa, Kang? Bukankah sebentar lagi dia akan lulus sarjana, dan segera pulang?” tanya Poniman yang cemas dan bingung.
“Tolong kau jemput dia ... tolong bawa dia pulang meskipun itu hanya jasadnya saja.”
Permintaan yang keluar dari mulut Suhadi tersebut jelas membuat Poniman terkejut. Meski menolak untuk percaya, fakta bahwa itu keluar dari mulut kakaknya sendiri nyatanya membuat tubuh Poniman turut gemetar samar—sangking kagetnya.
“Memangnya apa yang terjadi ... kok Sampean bisa mengucap permintaan seperti itu? Hah!” desak Poniman yang kini semakin dicekik pikiran tentang kemungkinan buruk yang menimpa keponakannya. Namun, lagi-lagi Suhadi—Ayah Rani tak mampu melanjutkan penjelasannya, sehingga membuat Poniman semakin gusar.
Di saat yang sama tiba-tiba salah seorang tetangganya yang kebetulan juga mendengarkan siaran berita tentang kerusuhan di Jakarta melalui radio pun menyahut, “Mungkinkah tentang berita demo besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa di Jakarta?”
Poniman menoleh kaget, lalu beranjak dan berkata, “Kang! Aku titip kakangku sebentar, ya?” Tanpa menunggu jawaban kesanggupan dari tetangganya, Poniman langsung bergegas lari menuju ke arah rumah Pak Agus Sutikno—yang merupakan mantan guru SD Rani sekaligus orang yang menceritakan pada Rani tentang perjuangannya kuliah di Jakarta.