13-Mei-1998 pukul 08:30 Poniman berkemas untuk pergi ke Jakarta—menuruti keinginan kakaknya untuk membawa Rani pulang. Namun, sang istri yang saat ini tengah hamil menentang keras kepergian Poniman.
“Mas Poniman sendiri tahu, ’kan? Kalau kelahiran anak pertama kita itu tinggal menunggu pagi-sorenya saja! Tapi kenapa Mas Pon malah mau pergi dan mementingkan orang lain, Mas ...? protes sang istri yang memang saat ini usia kandungan Ratini—istri Poniman sudah memasuki sembilan bulan.
“Dia bukan orang lain, Dek. Dia itu keponakanku! Putri kakakku satu-satunya! Dia wanita juga sepertimu. Bisakah kamu bayangkan betapa bahayanya posisi dia saat ini? Seorang diri di kota yang tengah karut-marut, tanpa adanya sanak saudara yang bisa mintai tolong. Apa kamu bisa membayangkan itu?” sanggah Poniman yang mencoba untuk membuat istrinya mengerti.
“Setidaknya kau masih punya kakakmu yang bisa kamu mintai tolong di sini. Tapi Rani ...?” sambung Poniman lagi.
Alih-Alih mengerti, Ratini justru merepet kemana-mana.
“Seharusnya dia sadar diri! Dia tahu seorang wanita desa, tapi sok-sokan kuliah di kota dengan alasan ingin memajukan pendidikan desa setelah berhasil lulus. Memangnya dia pikir bisa menjadi seorang Kartini? Bukankah mimpinya itu terlalu tinggi dan tidak tahu diri? Terlahir dari anak petani desa, mestinya sadar diri dan ndak usah neko-neko! Kalau sudah begini, siapa yang repot?”
Repetan Ratini kali ini seakan membakar telinga dan menyulut sumbu amarah Poniman. “Dek Tini!” bentak Poniman yang membuat Ratini tersentak, hingga menghentikan repetannya. Melihat istrinya langsung menunduk takut, Poniman berusaha untuk tidak melanjutkan ledakan amarahnya. Ia berhenti sejenak dari membereskan apa-apa yang akan dia bawa ke kota, dan beralih duduk di samping istrinya.
“Dek ... cobalah untuk membuka sedikit saja cara berpikirmu. Tidakkah kau juga merasa prihatin dengan minimnya pendidikan di desa kita? Apakah jika nanti anak kita terlahir perempuan, kau juga ingin anak kita hanya menuruti kebiasaan masyarakat di sini, dan tumbuh hanya untuk menikah saja? Sementara perkembangan zaman semakin ganas dan pasti menenggelamkan orang-orang bodoh dalam jurang derita. Rani ... dia gadis hebat. Walaupun nanti tidak berhasil, setidaknya ada wanita dari desa kita yang berani mencoba dan berjuang. Aku pun juga ingin jika anak kita kelak lahir, memiliki semangat juang seperti Rani.”
Poniman merayu sang istri seraya mengelus kepala istrinya dengan lembut.
“Iya! Mas Pon benar. Tapi ... apa harus Mas poniman yang ke sana? Kenapa bukan Mas Hadi atau ... suruh saja orang lain!” bantah Ratini lagi.
“Aku adalah satu-satunya adik Mas Hadi, dan aku juga setidaknya pernah berhadapan dengan kejamnya ibukota secara langsung. Jadi ... aku tidak bisa menyuruh orang lain untuk menjemput Rani. Apalagi Mas Hadi sendiri yang saat ini istrinya masih terbaring lemah meratapi putrinya. Coba kau bayangkan jika kau di posisiku, kau pasti juga akan melakukan yang terbaik untuk saudaramu, ‘kan?”
Kali ini Ratini diam sejenak tampak memikirkan sesuatu. Lalu berkata, “Baiklah. Aku mengerti.” Sambil menepis tangan suaminya yang dari tadi terus mengelus kepalanya. Wanita yang mengenakan daster merah jambu itu beranjak dari tempat duduknya. Sontak hal tersebut membuat Poniman mengira kalau istrinya marah. Saat Poniman menghela napas, sambil menunduk lesu, tiba-tiba istrinya menghampiri Poniman kembali.
“Apa ini cukup?”