Apakah hilangnya nyawa empat mahasiswa yang ikut berdemo adalah satu-satunya tragedi yang terjadi di Jakarta? Tentu saja bukan. Tragedi yang sesungguhnya baru akan menyusul. Pada pukul 21:30 tepatnya tanggal 13-Mei-1998 malam, Rani berkumpul bersama keluarga Koh Alim.
Kala itu mereka menunggu kedatangan Poniman yang katanya akan datang berkunjung.
Bukan sekedar menunggu, tapi malam itu juga akhirnya Rani mengucap salam perpisahan. Dalam pernyataannya Rani juga menyampaikan, “Mungkin malam ini juga, pamanku akan mengajak saya pulang. Mengingat bahwa saat ini usia kandungan istri beliau sama seperti usia kandungan Nyonya. Jadi ... bisa dipastikan bahwa pamanku tidak akan mau untuk menginap.”
Menanggapi pernyataan Rani, Koh Alim dan istrinya langsung mengangguk paham. Sejurus kemudian Rani mengeluarkan sebuah tas kecil.
Dari dalam tas kecil itu, Rani mengeluarkan sebuah kotak persegi kecil berwarna biru tua. Mirip seperti kotak perhiasan yang kemudian ia berikan pada Nyonya Alim. Lalu, Rani kembali mengeluarkan kotak persegi lagi yang kali ini ukurannya sedikit lebih besar, dan kali ini ia berikannya pada Koh Alim.
“Sebenarnya saya ingin memberikan hadiah ini setelah saya wisuda. Meskipun nilainya tak seberapa, tapi saya harap melalui hadiah kecil ini ... ungkapan terima kasih saya bisa tersampaikan dengan baik,” ungkap rani seraya menyerahkan kotak hadiah yang terakhir untuk Lim Mei, dan satu set pakaian bayi untuk calon bayi yang sedang dikandung Nyonya Alim.
“Kau curang! Kau pergi secara tiba-tiba, tapi sudah menyiapkan hadiah untuk semua orang di rumah ini, sedangkan aku ... bahkan tidak menyiapkan apa-apa untukmu. Bagaimana bisa kau selicik ini?” keluh Lim Mei yang langsung memeluk Rani dan menumpahkan air matanya di dalam pelukan Rani.
Sementara Koh Alim dan istrinya hanya bisa tersenyum getir, seraya menitikkan air mata haru menyaksikan betapa manisnya persahabatan mereka.
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. “Ah ... sepertinya pamanku sudah datang. Aku akan ....”
“Tidak boleh! Aku akan menahanmu di sini. Kau harus dihukum karena telah berbuat curang,” kelakar Lim Mei sambil mengeratkan pelukannya pada Rani.Tidak hanya itu, Lim mei bahkan berbuat usil dengan menggelitiki Rani, hingga gelak tawa mereka memenuhi ruang keluarga. Melihat putrinya seperti itu, akhirnya Koh Alim yang beranjak dari tempatnya untuk membuka pintu.
Namun, saat Koh Alim tinggal beberapa langkah lagi dari pintu, tiba-tiba ketukan pintu itu berubah menjadi gedoran yang membuatnya terkejut. Beliau menjadi ragu tentang tamunya. Alih-Alih langsung membukanya, Koh Alim memilih untuk mengintip dulu dari jendela samping pintu.