"Berhenti!" teriak Rani pada segerombolan orang tak dikenal itu. Para gerombolan pria berkalung sarung itu menoleh. Lalu, berjalan mendekat ke arah Rani.
"Apa mau kalian? Kalau kalian menginginkan harta, segera ambil yang kalian mau, dan lekas pergi dari sini!" seru Rani yang beringsut mundur. Jelas ia sangat ketakutan berhadapan dengan lima laki-laki yang sudah ia saksikan sendiri kekejamannya.
"Sepertinya kau bukan salah satu anggota keluarga ini. Apa kau bekerja di sini?"
Pertanyaan yang menyiratkan duga dari salah satu gerombolan pria bengis itu langsung dibenarkan oleh Rani. Namun, tentu saja dengan nada menantang.
"Ah ... Jawa yang jadi jongosnya China ternyata. Selamat, gadis cantik. Sekarang kamu bebas. Kamu bukan lagi jongos si China sipit, pelit itu sekarang. Jadi ... aku aja membiarkanmu pergi."
Rani sama sekali tak mengerti dengan ucapan pria yang menyuruhnya pergi itu. Pasalnya Rani membenarkan bahwa ia bekerja dengan Koh Alim, bukan budak ataupun tawanan.
Alih-Alih bertanya langsung, Rani justru mencoba untuk membuat kesepakatan.
"Entah dendam apa yang kalian punya terhadap keluarga ini, tapi ... bukankah sekarang seharusnya kalian pergi? Karena kalian sudah membunuh majikan saya!"
Sesaat, mereka saling lempar pandang, lalu kemudian mereka tertawa terbahak-bahak. Membuat Rani semakin tak mengerti. Lalu, pria yang memikul senjata tajam serupa pedang itu kembali berbicara pada Rani.
"Apa kau pikir ini hanya dendam pribadi? Pikiranmu terlalu polos, Nak! Kami semua di sini untuk menumpas asing aseng yang menjajah negeri kita. Karena mereka, mata pencaharian pribumi semakin menipis. Karena mereka pula, para pribumi banyak yang menjadi pengangguran. Paham!"
Penjelasan itu sangat jelas. Kini, Rani yakin. Meskipun ia memohon, mereka akan tetap menghabisi seluruh keluarga Koh Alim. Karena motif mereka bukan merampok atau dendam. Tapi lebih ke rasis.
Sementara itu. Lim Mei saat ini tengah bingung dan takut melihat kondisi ibunya yang semakin kritis. Pendarahan mulai terjadi pada sang bunda. Berdiam diri di kamar juga tidak ada gunanya. Tak ada solusi lain selain pergi ke rumah sakit. Senada dengan yang dilakukan Rani, Lim Mei pun juga memaksa keberanian dan keluar dari kamarnya.
"Kalian hanya tidak menyukai keberadaan kami, bukan? Jika itu masalahnya ... kami akan pergi dari sini. Tapi biarkan kami hidup," pinta Lim Mei yang membuat segerombolan pria bengis itu terkejut.
Lagi-Lagi mereka saling melempar pandang, dan kemudian tertawa terbahak-bahak secara serentak. Seakan tengah menikmati opera bergenre komedi.