Tan Hua Di Kolam Darah

LaVerna
Chapter #10

Chapter 10: Amanat

   

“Mau sampai kapan kau akan terus meratap? Hah! Ada hadiah yang harus kau terima dari kami!” Tawa bengis yang mereka tampakkan membuat Lim Mei paham, bahwa hadiah yang mereka maksud pastilah bukan hadiah yang bagus untuk Lim Mei. Sehingga Lim Mei meminta satu permintaan terakhir.

“Aku mengerti. Tapi ... sebelum itu, izinkan aku untuk memberitahu dia tentang apa yang harus dilakukannya pada bayi itu. Kalian tentu tidak akan ingkar mengenai apa yang kalian janjikan di awal tadi, bukan?”

Saat para pria keji itu tersenyum mengiyakan, Rani justru bingung sekaligus curiga tentang perjanjian yang mereka sepakati.

“Perjanjian apa yang kalian sepakati? Lalu, hadiah macam apa itu? Mei!”

Alih-Alih menjelaskan, Lim Mei justru memainkan isyarat mata pada para pribumi keji itu, seakan dengan isyarat tersebut Lim Mei meminta ijin untuk membawa Rani keluar.

“Hey! Apa-Apaan ini? Apa yang kau sepakati dengan mereka?” desak Rani yang masih penasaran. Akan tetapi, Lim Mei tetap tidak memberi tahunya dan langsung membawa Rani keluar, setelah menyelimuti bayi merah yang kini sudah diam. Keduanya pergi menuju kamar sebelah yang merupakan kamar Rani. Di sana Lim Mei buru-buru mengambil sebuah buku, dan bolpoin.

“Barang-Barangmu sudah kau kemas, ‘kan? Pergi dari sini sekarang juga sebelum mereka berubah pikiran,” ujar Lim Mei seraya merobek kertas yang baru saja ia tulisi. “Saat nanti kau sudah sampai di kampungmu, tolong hubungi orang ini. Dia adalah paman kecilku. Satu-Satunya kerabat yang kupunya yang saat ini sedang berada di Singapura,” sambung Lim Mei lagi yang cepat-cepat memasukkan secarik kertas itu ke dalam saku celana Rani.

“Apa yang kau katakan? Kenapa tidak kau sendiri saja yang menghubungi pamanmu itu? Kita akan pergi bersama, ‘kan?”

Kali ini Lim Mei tidak sanggup lagi bersuara. Ia memaksa mulutnya agar mengunci rapat sambil menahan tangis yang tak mampu ia bendung. Namun, Rani masih saja mendesak Lim Mei untuk pergi bersama. Hingga akhirnya Lim Mei mendorong Rani hingga ke pintu utama. Lim Mei yang sedari awal tidak tahu kondisi ayahnya, sempat terkejut saat melewati jasad beliau yang sudah dalam kondisi antara badan dan kepala terpisah. Badannya di ruang tengah, tapi kepala Koh Alim berada di depan anak tangga.

“Rani, apa benar yang saat ini menjarah rumah kita ini adalah manusia? Jika manusia, bagaimana bisa mereka sekeji ini pada sesamanya? Apa benar alasan mereka hanya perihal kami bukan pribumi? Tapi ... bukankah yang menciptakan kita itu sama?”

Lim Mei seperti kehilangan kewarasannya. Saat Rani bahkan tak sanggup melanjutkan langkahnya ketika melihat kepala Koh Alim berada tepat di depan anak tangga, Lim Mei justru tanpa menitikkan air mata mengambil kepala sang ayah, dan meletakkannya di dekat tubuh yang sudah terbujur kaku di genangan darah itu.

“Turunlah! Sekarang Ayah sudah tidak menghadang jalanmu lagi!” seru Lim Mei.

Ragu-Ragu Rani mengambil langkah untuk turun. Lalu, ia sempat menoleh ke ujung lorong, di mana para penjahat itu sedang bercengkrama tampak lengah. Rani pun akhirnya bergegas turun.

“Mereka sedang lengah, bagaimana kalau kita pergi bersama? Kau ke arah jalan raya, agar ada yang menolongmu, dan aku ke arah berlawanan untuk membawa bayi ini ke klinik terdekat. Bagaimana? Hm?” bujuk Rani yang dari matanya tampak jelas binar harapan untuk pergi bersama dengan selamat.

“Tidak! Aku sudah membunuh ibuku. Mereka berdua tewas seperti itu, bagaimana mungkin aku mampu kabur sendirian? Hidupku sudah tidak artinya lagi,” jawab Lim Mei penuh keputusasaan, dan perasaan bersalah.

“Tapi, Mei ...?”

“Sebelum pulang, jangan lupa segera pergi ke klinik terdekat untuk memotong tali pusatnya. Selain itu, pastikan bahwa dia selamat!”  sahut Lim Mei yang langsung mendorong Rani keluar dari rumahnya.

Lihat selengkapnya