Tan Hua Di Kolam Darah

LaVerna
Chapter #11

Chapter 11: Pertemuan

Pada tanggal 14-Mei-1998, tepatnya pukul 07:00 Rani kembali ke rumah Koh Alim. Tentu ia tak kembali seorang diri. Ia membawa Pak RT dan juga sejumlah petugas polisi. Temuan beberapa mayat di rumah itu sontak membuat warga sekitar gempar. Rani, yang kala itu di dampingi polisi pun bergegas masuk mencari Lim Mei. Berharap bahwa Lim Mei masih bisa diselamatkan.

Sayangnya, setelah puas mencari di seluruh rumah, mereka tak menemukan Lim Mei. Hanya ada baju Lim Mei yang sudah koyak. Kuat dugaan bahwa Lim Mei dibawa pergi oleh para penjahat itu. Hal itu membuat hati Rani hancur berkeping-keping.

“Nak, Bagaimana kau akan mengurus para jenazah ini? Apakah dikremasi—sesuai dengan adat istiadat etnis tionghoa pada umumnya. Atau ... dimakamkan saja seperti umat kristiani? Mengingat bahwa keluarga ini merupakan umat Kristiani yang taat,” tanya pengurus RT setempat yang tahu persis bahwa Rani sudah seperti anak Koh Alim.

Pertanyaan tersebut membuat Rani teringat pada nomor telepon kerabat Lim Mei yang diberikan padanya saat terakhir malam itu. Segera Rani berlari menuju telepon di rumah Koh Alim untuk  menghubungi nomor tersebut. Sayangnya, sama sekali tak ada jawaban. Setelah berkali-kali mencoba, hasilnya tetap nihil, hingga akhirnya mau tidak mau Ranilah yang membuat keputusan.

“Bagaimana, Nak?” tanya pengurus RT itu lagi.

Setelah diam sejenak untuk mempertimbangkan, akhirnya Rani memilih untuk membuat pemakaman yang layak bagi Koh Alim Dan istrinya. Lalu, dibantu oleh warga setempat yang juga kebanyakan dari mereka adalah umat Kristiani, Rani yang memang seorang muslim dan tentunya  tak tahu-menahu mengenai tata cara pemakaman orang Nasrani pun merasa sangat terbantu.

Setelah Rani selesai dengan urusan pemakaman, kini giliran Rani harus bersaksi dan memberikan keterangan terkait kejadian berdarah yang menimpa keluarga Koh Alim.

Pada tanggal  21-Mei-1998, bertepatan dengan mundurnya Presiden Republik Indonesia kala itu , juga menjadi hari terakhir Rani dalam memberikan kesaksian di kepolisian. Berharap, kesaksiannya tersebut dapat memberikan keadilan untuk Koh Alim dan keluarganya. Selang beberapa hari setelah semua urusan di kepolisian dirasa sudah selesai, Rani pun memutuskan untuk segera pulang kampung. Tentunya bersama bayi kecil—putra mendiang Koh Alim yang belum diberi nama.

Malam itu, tepatnya pukul 21.00 Rani kembali berada di terminal Pulogadung. Sambil menggendong bayi yang dipastikan keamanannya, Rani menitikkan air mata. Bayang-Bayang masa lalu saat pertama kali bertemu dengan Lim Mei dan ayahnya bermain di benaknya. Di tengah suasana yang menyesakkan dada itu, perhatian Rani teralihkan oleh beberapa selebaran dengan kertas putih yang tertempel di dinding sekitar terminal. Selebaran yang memuat sketsa wajah para pelaku pembantaian keji malam itu dan sketsa wajah Lim Mei yang dinyatakan sebagai orang hilang atau korban penculikan.

“Semoga kau masih hidup. Tidak peduli dalam kondisi apa pun, aku berharap bahwa kita masih memiliki jodoh untuk bertemu kembali,” gumam Rani sambil menatap dalam pada selebaran yang memuat wajah Lim Mei tersebut.

***

 

Apakah setelah sampai di kampungnya, Rani bisa bernapas lega, dan merasa aman? Sama sekali tidak. Pasalnya, saat Rani sampai di depan rumahnya, tidak hanya tangis kerinduan dari kedua orang tuanya yang menyambut kepulangannya. Akan tetapi, Ratini—istri Poniman juga berlari ke rumah Rani sambil menggendong bayinya, begitu ia mendengar kabar kepulangan Rani.

“Di mana Mas Poniman?” tanya Ratini dengan napas terengah-engah. Matanya terus mencari di sekeliling Rani, tapi ia tak menemukan sosok yang dia nanti.

“Iya. Di mana Pak lekmu, Nduk? Dan ... anak siapa yang kau bawa ini?” tanya Pak suhadi—bapaknya Rani.

Jelas Rani tampak bingung, lantaran selama di Jakarta, ia sama sekali tak bertemu dengan sang paman.

“Lho, kok, malah tanya Rani? ‘Kan Bapak-Ibu tahu sendiri Rani baru pulang. Justru Rani yang mau tanya, katanya Lek Man mau menjemput Rani, tapi Rani tunggu, kok, ndak datang-datang? Jadi, ya ....”

Belum sampai Rani menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba sebuah tamparan keras mendarat di pipi Rani.

“Omong kosong apa yang kau katakan itu! Dia meninggalkan aku yang sedang hamil besar, dem untuk menjemputmu! Tapi, kau bilang apa? Tidak tahu? Bagaimana bisa kau tidak tahu? Hah!”

Sontak amarah Ratini meledak. Ia tahu betul bahwa Jakarta saat ini sedang gawat-gawatnya, tapi jawaban jujur Rani membuatnya kesal karena kini kecemasannya semakin mencekik dirinya. Rasa takut akan terjadinya hal buruk yang bisa saja menimpa suaminya semakin liar bermain di benaknya.

“Kalau sesuatu sampai terjadi pada suamiku, kau harus bertanggung jawab! Aku tidak mau tahu, pokoknya kau harus kembali ke tempat itu dan bawa kembali suamiku!” Tidak hanya melampiaskan amarahnya dengan ucapan-ucapan kasar, Ratini juga berusaha untuk menyerang Rani.

Semua orang yang ada di situ berusaha untuk menenangkan Ratini. Bahkan Ratini yang saat itu dikuasai oleh amarahnya nyaris melemparkan bayi yang berada di gendongannya—demi untuk melukai Rani. Sampai akhirnya kakak Ratini bertindak cepat dengan mengambil bayi itu.

Lihat selengkapnya