Akhirnya kami mendarat di negara tujuan, Indonesia. Atau saat itu tentara Belanda menyebutnya Hindia Belanda. Kami mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa di kota yang bernama Batavia. Atau lengkapnya Stad Gemeente Batavia. Setahuku kota ini adalah markas dari VOC atau serikat dagang milik Belanda. Semua terasa asing bagiku. Tetapi inilah tempat tinggal baruku. Akankah aku menyukai tempat tinggal baru ini? Angin hangat yang menyapa pipiku menunjukkan bahwa tempat ini berbeda dengan tempat asalku yang berangin dingin. Aku sadar sepenuhnya, untuk dapat diterima di tempat yang baru kami harus menyesuaikan diri. Aku bertekad untuk mendapatkan teman-teman baik di tanah air baru ini. Aku lega ada Siang Tin, orang yang kucintai, kupercaya dan sepenuhnya dapat aku andalkan, di sampingku. Suamiku berperawakan tinggi tegap, dia cerdas dan baik hati, bersamanya aku selalu merasa aman.
Kami dijemput oleh paman dari Siang Tin yang tinggal di Batavia (konon kebun tehnya ada di tempat yang bernama Pandeglang). Dialah paman yang mengajak Siang Tin ke Indonesia sedari masa mudanya. Kami sekeluarga (aku, Siang Tin dan A Liang) beserta Hui Lan diajak ke rumah paman dengan mobil hitamnya. Sedangkan dua teman baruku Li Hwa dan Li Ping beserta suami mereka malam itu menginap di sebuah penginapan. Paman dan keluarga menyambut kami dengan ramah, tapi kami tidak berlama-lama, ingin segera menetap di suatu tempat di mana kami bisa menyebutnya rumah. Keesokan harinya rombongan kami delapan orang naik kereta api menuju ke kota Solo di Jawa bagian tengah. Konon untuk membangun rel kereta api ini Belanda menerapkan sistem kerja paksa pada rakyat Indonesia. Kemarin malam di rumahnya paman bercerita saat ini banyak pergerakan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, termasuk kaum terpelajarnya untuk merebut kemerdekaan mereka dan mengusir Belanda meninggalkan bumi Indonesia. Belakangan ini intensitasnya semakin meningkat.
Hari sudah gelap sewaktu rombongan kami tiba di kota Solo. Kota ini terletak di dataran rendah, bukan kota pelabuhan dan di dekatnya ada gunung berapi yang katanya sudah tidak aktif lagi bernama gunung Lawu. Dan ada sungai yang katanya terpanjang di pulau Jawa, berawal dari Solo ini melewati banyak kota di Jawa Timur sampai akhirnya menuju ke laut. Nama sungai itu Bengawan Solo. Angin malam pertama yang menyapa kami di Solo terasa hangat, seperti angin di Batavia, jauh lebih hangat dibanding angin di Tiongkok yang dingin. Ada kenalan dari Siang Tin yang menyambut kami di stasiun, namanya Law Pek Jiang. Sama seperti kami, Pek Jiang juga pendatang dari propinsi Fujian namun dari kota yang lain dengan kota asal kami. Dia menawarkan Siang Tin apakah mau membeli rumah di samping rumahnya yang terletak di jalan Cakra. Kami tertarik mendengarnya. Malam itu kami menyewa empat kamar di penginapan. Keesokan harinya, setelah mengajakku melihat rumah yang ditawarkan Pek Jiang, Siang Tin setuju untuk membeli rumah yang berada di samping rumah kenalannya itu. Bersyukur juga kami, cepat sekali menemukan rumah yang cocok dalam waktu yang sangat singkat. Proses jual beli dengan pemilik lama juga berjalan sangat lancar. Harga tidak masalah bagi Siang Tin yang membawa cukup banyak uang pemberian ayahnya. Jadi keluarga kami sekarang bertetangga dengan keluarga Pek Jiang, yang mendapat komisi dari pemilik lama rumah kami. Pek Jiang tinggal bersama istri, dua anaknya, dan nampaknya istri Pek Jiang sedang hamil anak ketiga mereka. Kami selain Siang Tin, belum bisa berbahasa Indonesia. Jadi tinggal berdekatan dengan orang yang bisa kami ajak berkomunikasi dengan bahasa Fujian, dan orang tersebut sedikit menguasai bahasa Indonesia akan sangat membantu.
Sebuah rumah berukuran sekitar 250 meter persegi, dengan 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 2 kamar mandi, 1 dapur, 1 ruang makan dan 1 ruang terbuka yang tidak terlalu luas. Ruang terbuka ini lazim ada pada rumah orang Tionghoa. Dalam bahasa kami namanya cingcai. Biasanya selain untuk menjemur pakaian, orang Tionghoa juga bersembahyang dengan dupa pada Yang Maha Kuasa di tempat terbuka itu. Hui Lan tinggal bersama kami. Dia memakai salah satu kamar tidur. Kami membeli beberapa perabotan dari besi, kayu dan rotan. Li Hwa dan Li Ping bersama suami masing-masing juga mencari tempat tinggal. Sementara sebelum menemukan rumah yang cocok, mereka tinggal di penginapan.