Ayahku, Lim Kwok Sing memang berniat menyusulku ke Indonesia. Ayah sudah lama menduda, ibuku sudah lama meninggal. Ayah menjual obat-obatan Tionghoa yaitu ramuan dari daun-daun dan bagian tumbuhan lainnya dan dengan penghasilannya berjualan obat-obatan itu dia membesarkan keempat anaknya seorang diri. Aku adalah anak tertuanya. Aku memiliki dua adik laki-laki dan seorang adik perempuan. Kedua adik laki-lakiku berprofesi tentara dan keduanya gugur di medan perang. Adik perempuanku merantau ke Asia Tenggara setahun sebelum aku meninggalkan Tiongkok menuju Indonesia dan sampai sekarang aku belum mendengar kabarnya. Saat aku berangkat ke Indonesia, ayah memang berniat menyusulku karena aku adalah satu-satunya anak yang masih berhubungan dengannya.
Ayah belajar obat-obatan dari perguruan paling terkenal di Tiongkok yaitu kuil Shaolin bagian selatan yang terletak di provinsi Fujian tempat asal kami. Ayah adalah murid yang bukan golongan biksu. Ayah juga mempelajari ilmu bela diri Shaolin namun hanya dasar-dasarnya saja. Dia lebih tertarik mempelajari ilmu obat-obatan secara mendalam. Dia juga terkadang bertindak sebagai tabib. Setelah pasien berkonsultasi, ayah akan membuatkannya ramuan obat untuk dikonsumsi.
Tidak lama setelah menetap di Indonesia, aku mengirim surat kepada ayahku memberi tahu kabar dan alamatku di Indonesia. Aku berharap ayah akan memberitahuku bila ia akan berangkat menyusulku ke Indonesia. Tetapi setelah sekian lama menunggu, aku tidak pernah mendapat surat balasan dari ayah. Sampai suatu malam ketika Siang Tin memberitahuku bahwa ayahku sekarang berada di Banyuwangi. Terus terang aku sangat kaget dan heran mendengarnya. Baru sekali itu aku mendengar kata "Banyuwangi".
Banyuwangi adalah kota yang terletak di ujung Jawa Timur. Ada pelabuhan di kota itu yang berbatasan dengan Selat Bali dan jika orang hendak pergi ke Pulau Bali dari Pulau Jawa, mereka harus menyeberang dari pelabuhan Ketapang Banyuwangi. Komunitas Tionghoa se-Indonesia cukup aktif mendata anggotanya dan dari mulut ke mulut Siang Tin mendengar bahwa seorang pendatang bernama Lim Kwok Sing, yaitu ayahku berada di Banyuwangi. Sekarang aku dan Siang Tin harus menjemput ayahku di Banyuwangi.
Kami membawa A Liang yang saat ini berusia lima tahun naik kereta api menuju kota Surabaya ibukota Jawa Timur sebelum menyewa mobil menuju Banyuwangi. Perjalanan memakan waktu cukup lama, belasan jam. Untung A Liang adalah anak pendiam dan tidak nakal. Dia sempat demam beberapa kali sewaktu pertama tiba di Indonesia, tetapi setelah dua tahun ini, dia semakin sehat dan jarang sakit. Kami selalu memberinya makanan bergizi. Setelah sampai di kota Banyuwangi dan bertanya-tanya kepada penduduk setempat ternyata ayahku bukan berada di kota Banyuwangi, tetapi di desa Ketapang. Jadi kami harus naik dokar atau kereta kuda menuju desa itu. Dan untungnya rumah yang ditinggali ayahku tidak terlalu jauh dari jalan besar dan tidak terlalu sulit ditemukan. Jika tidak, aku tidak bisa membayangkan sampai kapan kami harus mencari tanpa alamat yang jelas.
Ketika kami 'menemukannya', ayahku sedang membelah kayu untuk bahan bakar memasak. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya di Tiongkok. Warna kulitnya jauh lebih gelap, namun dia terlihat sehat dan bahagia. Betapa aku merindukannya selama ini.
"Ayah!" seruku. Kemudian kupeluk erat-erat lelaki berusia lebih dari 60 tahun itu.
"Mei Ling?" lelaki tua itu kaget bercampur bahagia, "Akhirnya kita bisa bertemu lagi."
"Ayah, kenapa ayah tidak membalas suratku? Dan kenapa ayah tidak memberitahuku, tidak mencariku ketika tiba di Indonesia?" aku bertanya kesal.
Lelaki itu tidak langsung menjawab. Dia memeluk A Liang lalu menggendongnya.