Namaku Putra Sadewa, teman-teman biasa memanggilku dengan Dewa. Aku tinggal berdua dengan bibi yang super cerewet. Pagi itu adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan semester awal dan aku duduk di kelas 3 SMA. Jujur saja aku cukup malas untuk berangkat ke sekolah, bagiku sekolah adalah tempat yang paling membosankan.
"Sadewa cepat sarapan, sarapannya sudah siap! Jangan sampai kamu terlambat masuk ke sekolah loh!" Suara bibi terdengar lantang dari arah dapur. Dengan berat hati aku melangkahkan kaki menuju dapur untuk sarapan.
"Ingat ya Sadewa, kamu di sekolah jangan suka berantem, Bibi paling tidak suka kalau kamu berantem dengan teman-temanmu" Sepagi ini bibi sudah menasihatiku, membuatku semakin tidak bersemangat untuk berangkat ke sekolah.
"Tapi Bi... mereka duluan yang mulai." Bantahku.
"Pokoknya Bibi enggak mau tahu alasannya, kalau mereka menjahilimu jangan dibalas biarkan saja," Kemudian bibi kembali melanjutkan pembicaraannya, "mengalah bukan berarti Kamu lemah, lagian menindas orang yang lemah itu bukan sifat lelaki sejati."
Itulah alasan mengapa aku malas ke sekolah, aku sering dijahili oleh dua temanku di sekolah. Bukan karena aku lemah, hanya saja bibi akan marah besar kalau mengetahui aku membalas perbuatan mereka.
Pagi itu aku belajar seperti biasanya. Tidak ada yang istimewa, hanya mendengarkan guru menerangkan pelajaran kepada murid-muridnya. Akhirnya waktu istirahat tiba. Pada saat seperti inilah momen yang paling membuatku malas. Anto dan Doni mereka berdualah yang sering menggangguku.
"Heh... Dewa Kamu ndak ke kantin?" Dengan lagak sok jagoan mereka menghampiri sambil menjitak kepalaku. Aku menatap mereka tajam menahan kesal. Tanpa sadar tanganku ikut mengepal.
"Kenapa? nggak terima?" Balas Anto sambil tersenyum ngejek.
Daripada meladeni mereka berdua, aku memilih beranjak dari tempat duduk dan pergi. Tentu saja Anto dan Doni tidak tinggal diam melihatku pergi begitu saja. Mereka berdua mengikuti ke mana aku pergi, seperti dua ekor hyena yang sedang mengikuti mangsa dan menunggu mangsanya lengah. Aku memutuskan pergi ke halaman belakang yang sepi.
"Aku akan buat perhitungan dengan mereka sekarang!" Aku bertekad akan memberi mereka pelajaran kali ini.
"Oohhh... mau nantangin berantem neh!"
Masih dengan nada sok jagoan mereka berdua mulai menghampiri. Di antara mereka berdua Antolah orang yang paling kubenci, ia merasa sebagai pemimpin di sekolah ini karena kenakalannya. Ia sering kali terlibat kasus perkelahian di sekolah bahkan antara sekolah lain. Tidak ada seorang murid pun yang suka bergaul atau berurusan dengannya. Hanya Doni satu-satunya teman yang dimiliki Anto. Banyak dari mereka takut bila harus berhadapan dengan Anto. Lain halnya denganku, tidak ada sama sekali rasa takut bila harus berhadapan dengannya.
Dengan menunjukkan wajahnya yang garang ia berusaha membuat nyaliku ciut, tapi tekadku sudah bulat. Apa pun hasilnya aku tetap harus berusaha melawan dan menunjukkan pada mereka bahwa aku tidak sepengecut yang ia kira – aku pun membalas tatapannya.
"Waaahhh... bener-bener dah ini anak nyari masalah."
Sambil berbalik badan Anto ambil ancang-ancang untuk melakukan serangan. Sebuah pukulan mendarat tepat di perut membuatku sedikit tertunduk menahan rasa sakit, kemudian disusul tendangan dan beberapa pukulan yang bertubi-tubi dari Anto dan Doni bersamaan. Aku tersungkur ke lantai tanpa sempat membalas serangan mereka yang membabi buta.
"Gimana hah... udah ngerti sekarang kalau nantangin kita?"
Setelah puas memukuliku ia kembali menyombongkan diri. Aku berusaha kembali bangkit, kakiku bergetar tapi aku harus membalas perbuatan mereka.
“Buuugghhh...” sebuah pukulan kembali mendarat diperut, kali ini aku berusaha untuk tidak jatuh.
"Cih... dasar anak gak tahu diri, masih mau ngelawan?" kembali sebuah pukulan mendarat ditubuhku "Udah bosen hidup hah? Sana susul orang tuamu di Neraka!"
Mendengar cemoohan mereka terhadap kedua orang tuaku membuat aku semakin kesal dan marah.
"Jangan bawa-bawa orang tuaku!" Kataku geram.
"Emang kenapa hah? Dasar anak yatim!" Mereka berdua semakin menjadi-jadi.
"Sekali lagi ku bilang, jangan bawa-bawa orang tuaku!" aku kembali berdiri dengan tangan terkepal dan bersiap membalas mereka.
Aku merasakan sesuatu mengalir di dalam tubuh, perasaan yang selama ini kurindukan. Entah apa, tapi perasaan itu memberiku kekuatan, perasaan yang mengalir lembut dan hangat keseluruh tubuh. Melihat sebuah peluang tanpa basa-basi Anto kembali menyerang, namun kali ini aku membalasnya.
"Tidak akan kubiarkan kalian menghina orang tuaku!" Teriakku sambil melakukan pukulan.
Sungguh tidak dapat kubayangkan apa yang terjadi, pukulan yang kuarahkan ke Anto mengeluarkan api dan juga.....
"A - apa… yang barusan terjadi?"
-***-