Hamdan dulu mempunyai halaman rumah yang sangat luas. Ada beberapa pohon mangga dan jambu di depannya. Di belakang rumah terhampar hektaran sawah yang lapang seperti tidak berujung. Dan suara burung-burung selalu terdengar menggoda matahari pagi. Itu dulu. Sebelum ia pindah ke gang sempit ini. Dimana yang ia lihat di depan rumahnya adalah jalan sempit. Langkah-langkah berebut jalan dikejar ego. Dan harapan-harapan tersangkut di selokan. Sementara pikirannya semakin menceracau.
***
Setiap pagi, Hamdan bangun dari tidurnya dengan sebuah penyesalan. Harusnya aku tidak melepaskan sawah-sawah itu, kata suara-suara yang meremas hatinya. Ia bersikeras ia mustinya masih bisa bertahan mengurus warisan nenek moyangnya tersebut walaupun melewati batas kemampuannya. Tapi yang terjadi ia kalah pada berbagai godaan yang menyerbunya ketika itu. Padi gagal dipanen beberapa musim karena kesulitan air dan serbuan hama yang bertubi-tubi. Tiga anaknya pun butuh uang untuk modal usaha di kota. Akhirnya, setelah kebimbangan yang merenggut pikirannya cukup lama, ia ikut juga bersama petani lainnya di desa itu untuk menjual sawah mereka pada orang kota yang datang menawarkan harga yang cukup tinggi untuk tanah mereka. Beberapa waktu kemudian, tanah lapang seperti tidak berujung itu ditanami beton.
Alasan lain kenapa Hamdan mau menjual sawahnya karena ketiga anaknya berjanji akan membeli sawah-sawah di desa yang tidak jauh dari tempat ia tinggal jika usaha mereka berhasil. Tapi janji itu belum juga terwujud. Tanah lapang sebagai halaman belakang belum juga kembali. Ia sempat bertanya kepada anak-anaknya tentang usaha mereka, tapi mereka bilang usaha mereka belum lama dimulai. Jadi belum menghasilkan untung yang banyak. Hamdan terdiam. Ia pandangi tanah lapang yang ditumbuhi rumah-rumah di belakang rumahnya dengan nanar.
Hamdan tinggal sendiri di rumahnya. Istrinya meninggal telah begitu lama. Waktu ia masih punya sawah, setiap pagi ia pergi kesana dengan cangkul dan harapan untuk panen yang lebih baik. Tapi setelah semuanya ia jual, yang ia kerjakan sehari-hari hanyalah bangun pagi lalu meyaksikan matahari terbit yang mulai terhalang bangunan-bangunan, ke mushalla untuk bershalawat, dan menunggu uang kiriman anak-anaknya. Hingga pada suatu hari ia sakit. Tidak ada yang bisa mengurusnya di kampung. Anaknya yang paling muda pun membawanya ke kota. Ia berusaha menolak. Tapi ketika ia terbangun di waktu pagi, ia sudah mendapati jalan sempit yang asing di depan rumah.
***
Hamdan terpaku lama di tempat tidurnya. Di luar kegaduhan yang biasa ia dengar beberapa bulan terakhir terjadi. Anak lelakinya yang bersiap berangkat kerja, kedua cucunya yang sibuk mencari buku-bukunya yag mereka letakkan sembarangan, dan menantunya yang repot dengan peralatan dapur. Sementara pikirannya menceracau tidak jelas seperti biasa. Sesak dan pengap. Ia mencoba keluar mencari ruang lain di otaknya, tetapi seolah terisi penuh oleh hal-hal yang tidak ia inginkan.
“Ma...” Terdengar suara anaknya, Ridwan memanggil istrinya, “Ayah mau berangkat. Jangan lupa makanan buat Bapak, ya...”
“Iya, Yah...”
Seumur hidupnya, Hamdan biasa untuk memperoleh makanan dengan tangannya sendiri dari padi yang ia tanam. Nasi yang ia makan di kota sangat berbeda sekali dari yang ia biasa makan dari tanahnya. Entah apa yang berbeda. Yang jelas ia selalu merasa perutnya berontak setiap ia menelan makanan tersebut.