Tanah Lapang (Antologi Cerpen)

Ali Satri Efendi
Chapter #2

Cerita 2: Sepeda Motor

Dulu waktu aku kecil, orang-orang di kampungku selalu berjalan kaki ketika berangkat Shalat Jum’at. Setiap lelaki yang keluar dari rumah masing-masing akan bertemu di jalan, bersalaman lalu berangkat bersama ke masjid. Selama perjalanan ada saja bahan obrolan. Mulai dari padi yang siap panen, acara TV, anak-anak yang sering rewel, sampai rencana menonton bola di lapangan. Begitu juga ketika pulang Shalat Jum’at. Apa yang disampaikan khatib pun sering jadi perbincangan.

Tapi sekarang, hampir setiap rumah di kampung ini mempunyai sepeda motor. Bahkan satu rumah punya lebih dari satu sepeda motor. Setiap menjelang Shalat Jum’at jarang sekali ada langkah-langkah kaki ke Masjid. Mulut-mulut jarang sekali mengobrol. Cuma ada deru mesin yang saling sahut.

***

Kalau pulang kampung, aku lebih memilih naik kendaraan umum dibanding mengendarai sepeda motor. Dengan begitu, aku bisa santai-santai di dalam mobil. Ya...walaupun berdesakkan. Tapi lumayanlah, aku masih bisa buka buku untuk dibaca. Jika harus mengendarai sepeda motor, aduh... capek! Pandangan harus fokus ke depan. Aku harus teliti ambil sisi kanan-kiri ataupun ambil strategi mendahului. Repot. Walaupun dengan jarak waktu lebih lama, bagiku naik kendaraan umum masih lebih efisien.

“Baru pulang, Din?” Seorang tetangga menyapaku ketika aku akan menyeberang jalan.

“Iya, Wak. Baru aja sampe,” jawabku dengan sumringah.

“Naik apa? Bus?”

“Iya.” Aku menghentikan langkahku karena ia masih ingin menanyakan sesuatu.

“Enggak naik motor aja? Kan bisa lebih cepat,” lanjutnya.

“Ah...enggak. Lebih enak naik angkutan umum,” aku tinggalkan tetanggaku itu. Pertanyaan kenapa tidak pakai sepeda motor sudah biasa aku dengar sepanjang pulang kampung. Sama seperti pertanyaan kapan nikah. Sampai bosan aku. Tapi mau bagaimana lagi.

Di depan rumah aku melihat sebuah sepeda motor mega pro masih mulus sekali. Masih baru kelihatannya. Apa mungkin Bapak baru beli, ya, pikirku. Aku ketuk pintu. Aku ucapkan salam. Bapak langsung menyambutku. Aku cium tangannya. Ibu sedang di dapur seperti biasa. Memasak makanan untuk makan siang. Aku hampiri Ibu di dapur dan juga mencium tangannya. Aku bertanya pada Bapak, motor baru siapa di luar. Dia bilang itu motor Lukman, sepupuku. Ia sedang memancing dengan temannya di empang belakang rumah.

“Wuih...hebat juga dia. Masih SMA sudah punya sepeda motor sebagus itu,” komentarku sambil meletakkan tas di atas kursi.

“Hadiah dari Bapaknya,” ujar Bapak, “dia dapat rangking satu di sekolah. Bapaknya janji, kalau dia rangking satu dia akan dibelikan sepeda motor mega pro.”

Lihat selengkapnya