Tanah Lapang (Antologi Cerpen)

Ali Satri Efendi
Chapter #3

Cerita 3: Mereka Bolos Lagi

Komar memasuki kelas. Ia amati tiap siswa yang ada. Ada hal yang lumrah di kelasnya: mereka bolos lagi. Terkadang ia heran, apakah di era digital ini sekelompok siswa yang tidak ada di kelas ketika jam pelajaran dimulai bukan keanehan lagi? Ia memeriksa daftar hadir kelas 2B tersebut. Seperti yang ia duga. Sepuluh siswa itu lagi. Padahal pagi-pagi tadi ia melihat mereka berkumpul di pinggir lapangan. Ia bertanya pada siswa yang terlihat sedang asyik menunduk memainkan smartphone nya. Ia menjawab tidak tahu. Kemana mereka? Sudah kesekian kalinya mereka melakukan ini.

***

Ketika Komar baru memulai bekerja sebagai guru di sekolah menengah atas tersebut, ia kaget bukan main ketika ia dapati hampir setengah dari muridnya tidak ada di kelas. Bukan cuma itu, ketika ia mengajar pun kata-katanya seperti menggelinding begitu saja di depan kelas. Sementara murid-muridnya asyik dengan urusan mereka masing-masing. Terutama fokus pada isi smartphone mereka sambil menunduk dan senyam-senyum tidak jelas.

Komar sempat mengira ada yang salah dengan metode ia mengajar. Sebagai guru yang belum lama mengajar, ia was-was dengan caranya sendiri. Kekhawatiran apakah anak-anak bisa mengerti yang ia ajarkan menjadi momok yang membebaninya sehari-hari. Ia sempat bertanya kepada beberapa guru yang lebih senior. Ternyata mereka juga mengeluhkan kelakuan murid-murid di sekolah itu. Mereka bercerita tentang anak-anak yang selalu sibuk dengan gadgetnya, anak-anak yang suka bolos, berisik di dalam kelas, melawan perintah guru dan tidak mengerjakan tugas. Bahkan ada anak-anak yang sempat bertengkar dengan guru, membuat ban sepeda motor guru bocor, sampai-sampai ada siswa yang sakit hati melempar kaca rumah gurunya sendiri.

“Kelakuan anak-anak sekarang memang keterlaluan, Pak Komar,” keluh Pak Imam, guru senior di kelas itu. “Apalagi di sekolah pinggir kota seperti ini. Dulu, senakal-nakalnya siswa, tidak ada yang sampai bikin bocor ban motor gurunya. Apalagi sampai bikin masalah di rumah guru,” lanjutnya nanar. “Kalau sekarang,” ia tarik nafas lesu, “ya sudahlah. Saya sih yang penting sudah ngajar, memenuhi tugas saya sebagai guru, kalau sudah selesai, ya saya pulang.”

Komar menanggapi keluhan Pak Imam dengan bercerita masa-masa ia sekolah. Ia membenarkan pendapat Pak Imam kalau anak-anak sekolah pada masanya masih punya rasa hormat pada guru. Bahkan kalau bertemu guru di jalan, tidak segan mereka untuk menyapa dan mencium tangan guru. “Anak-anak sekarang kalau ketemu guru, ya kayak orang yang enggak kenal. Apalagi yang sudah lulus,” timpal Bu Eva yang kebetulan ada di ruangan guru. Kedua guru senior tersebut lantas menasehati Komar agar bersabar dan kuat menghadapi anak-anak yang luar biasa nakal tersebut.

***

Besoknya, komar kembali masuk ke kelas itu dengan mata pelajaran yang berbeda. Jika siswa-siswa yang biasa bolos itu tidak masuk lagi di kelasnya ia telah terbiasa. Toh itu salah mereka sendiri jika ia harus memberikan mereka nilai di bawah rata-rata. Sebagai guru, siapa yang tidak mau murid-muridnya mempunyai nilai bagus. Bahkan banyak yang melakukan segala cara, mulai dari memberikan siswa-siswi les gratis, seperti yang Komar alami waktu sekolah dulu. Ataupun memberikan motivasi langsung ke rumah siswa jika ada di antara mereka yang tidak masuk sekolah karena masalah tertentu. Tapi jika murid-murid tersebut mengabaikan kebaikan guru, apa boleh buat?

Komar sampai di pintu kelas. Ia perhatikan sejenak murid-muridnya sebelum masuk. Rupanya lima siswa dari sepuluh siswa yang kemarin bolos ada di dalam. Mereka tengah asyik bercanda satu sama lain duduk di atas meja. Begitu mereka mengetahui Komar masuk kelas, mereka turun dari meja perlahan seperti menantang. Setelah memeriksa daftar hadir siswa dan menyebut nama mereka satu per satu, komar memanggil lima anak yang bolos kemarin. Biar bagaimanapun ia harus mengambil sikap agar anak-anak ini tidak banyak tingkah di kelas. Jangan mentang-mentang ia guru baru mereka bisa bersikap seenaknya, pikirnya. Kelima siswa itu maju ke depan dengan mata sinis menatap Komar.

“Jamal, kenapa kamu tidak masuk pelajaran saya kemarin?” Komar bertanya kepada salah satu siswa yang bolos kemarin. Banyak guru-guru bilang, siswa yang bernama Jamal ini dikenal sebagai pemimpin anak nakal di kelas ini, bahkan di kelas-kelas lain.

Jamal tidak menjawab. Ia malah menoleh ke teman-teman di sampingnya dengan senyum mengejek. Komar bertanya sekali lagi. Jamal malah makin cengengesan. Komar pun meninggikan suaranya dengan pertanyaan yang sama. “Jawab!” Ia membentak.

“Saya pulang, Pak. Sakit perut,” jawab Jamal dengan pandangan lurus ke depan.

“Kalian juga?” Komar bertanya pada empat siswa lainnya. Mereka membenarkan dengan serempak. “Saya baru tahu ada sakit perut berjama’ah,” sindir Komar dengan kedua lengan terlipat di dada.

Lihat selengkapnya