Tanah Tanpa Hawa

Deany Na
Chapter #2

Bab 1 - Sang Pewaris

Arion Dasta Azemar. Berdiri tegak di halaman latihan, tubuhnya dibasahi keringat, mata tajamnya mengamati garis bidik. Ia baru berusia delapan belas tahun, tapi ketegasan gerakannya melebihi usia. Darah militer mengalir kental dalam tubuhnya—anak tunggal dari Jenderal Varkus, salah satu tokoh paling ditakuti dan dihormati di negeri yang kini dikenal sebagai Kaelith.

Kaelith bukan dunia yang dulu. Kini, dunia ini kering, bukan hanya tanahnya tapi juga jiwanya. Tak ada lagi tawa lembut, tak ada sentuhan kasih. Perempuan telah dilenyapkan dari muka bumi bertahun-tahun lalu, seolah disapu oleh takdir kejam yang tak memberi penjelasan.

Di dunia yang tinggal kaum pria ini, emosi dianggap kelemahan. Anak-anak dibesarkan di pusat pendidikan militer yang ketat, diatur oleh sistem yang dingin dan tanpa ampun. Tangisan dilarang. Keraguan dihukum. Kelembutan dihapus dari kamus hidup mereka.

Arion tumbuh di tengah semua itu. Ia sempurna di mata sistem—patuh, kuat, rasional. Namun, jauh di lubuk hati, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Setiap malam, Arion dihantui mimpi yang sama.

Dalam mimpinya, ia berdiri di sebuah padang ilalang yang diterpa angin. Di tengah sunyi itu, terdengar suara—lembut dan asing. Suara sesosok manusia yang tidak pernah ia lihat seumur hidupnya. Arion tak pernah melihat wajahnya, hanya siluet dari kejauhan, berdiri sambil bersenandung dengan nada yang menyayat namun menenangkan.

“Apa itu… suara?” pikir Arion suatu malam, terbangun dengan dada sesak dan mata yang terasa hangat—hampir seperti ingin menangis, walau ia tak tahu pasti rasanya.

Mimpi itu membingungkannya. Membuatnya penasaran. Dan lebih dari segalanya, membuatnya takut… karena tidak ada tempat bagi kelembutan seperti itu di dunia Kaelith.

———

Bel latihan dibunyikan tiga kali. Para kadet perlahan membubarkan diri. Tak ada suara tawa, tak ada gurauan. Hanya derap langkah yang ritmis dan dingin.

Arion menggenggam botol minum, membasahi tenggorokannya, lalu menyandang tas pelatihan. Di sisi kanannya, seorang pemuda berambut cokelat gelap dan tatapan setengah mengantuk mulai menyamai langkahnya.

Declan Ashford.

Mereka tak pernah janjian pulang bersama. Tapi entah kenapa, sejak semester dua, langkah mereka selalu saja selaras saat matahari mulai tenggelam.

"Setiap hari seperti ini," gumam Declan tiba-tiba, nadanya ringan tapi terdengar ganjil. "Bangun tidur, mandi, makan, berlatih. Bagaimana menurutmu, Arion? Kau murid paling populer dan paling pintar. Mungkin kau tahu jawabannya."

Arion menoleh sekilas. Langit sore tampak pucat, seolah lelah memandangi dunia.

Ia tidak langsung menjawab, hanya melangkah beberapa detik dalam diam sebelum akhirnya berkata, "Sudah seharusnya seperti itu."

Mereka kembali melangkah. Langkah mereka bergema di lorong jalan menuju asrama, melewati tembok abu yang dingin dan jendela-jendela yang tak pernah terbuka.

Declan menoleh sedikit. “Tapi akhir-akhir ini… aku mulai mimpi hal yang aneh saat tidur.”

Arion memperlambat langkahnya. “Mimpi seperti apa?”

Declan menatap langit senja di antara gedung-gedung. “Aku bermimpi melihat seorang manusia… tapi bentuknya aneh. Pinggangnya ramping sekali, dan… di dadanya seperti ada gumpalan daging. Dua. Bulat. Bergerak waktu dia bernafas.”

Langkah Arion terhenti.

Lihat selengkapnya