Langit memudar menjadi jingga ketika Arion akhirnya tiba di lembah retak itu. Debu mengambang perlahan di udara kering, dan tak ada suara selain gesekan angin dengan batu-batu mati.
Di bawah sebuah pohon kering yang tampak seperti tulang menjulang, duduklah seorang pria tua. Rambutnya memutih, kulitnya gelap dan penuh gurat luka. Tatapannya kosong ke arah cakrawala yang tak menjanjikan apa pun.
Arion mendekat dengan hati-hati.
"Apakah kau Thorne?" tanyanya pelan.
Pria itu menoleh perlahan. Matanya merah, entah karena usia atau karena terlalu sering menangis diam-diam.
"Siapa yang bertanya?" gumamnya. Suaranya serak seperti pasir diseret angin.
"Namaku Arion. Aku mencari seseorang yang pernah melihat... Hawa atau perempuan."
Tiba-tiba, tubuh Thorne menegang. Tangannya mencengkeram tongkat di sampingnya.
"Kau tahu apa yang kau bicarakan, anak muda?"
"Aku tidak tahu segalanya. Tapi aku tahu mimpi-mimpi itu nyata. Dan aku tahu kau pernah melihatnya."
Thorne mengamati wajah Arion lama. "Tidak banyak yang cukup gila untuk menyebut kata itu lantang."
"Perempuan?"
Thorne mengangguk pelan. "Dulu... kami menyebutnya begitu. Makhluk yang tak seharusnya ada di bumi ini. Atau mungkin... satu-satunya yang masih pantas."
Arion duduk di tanah, mengeluarkan kantong air terakhirnya. "Aku ingin tahu jalannya. Menuju Lembah Hawa."
Thorne melirik kantong air itu. Dahaganya terlihat jelas.
"Air untuk cerita," kata Arion.
Thorne tertawa lirih, seperti bunyi batu saling membentur. "Kau lebih pintar daripada tampangmu."
Ia meneguk air perlahan, lalu menyeka bibirnya dengan punggung tangan. "Kota tua itu... gerbang menuju lembah. Tapi bukan tempat yang bisa dikunjungi begitu saja."
"Kenapa?"
"Karena gerbang itu tidak hanya menuntut tubuhmu. Ia mencium isi jiwamu."
---
Perjalanan mereka sunyi, ditemani desir pasir dan langit yang kelabu.
Setiap langkahnya menuju lembah mengulang satu nama: Hawa. Kata itu menempel di benaknya seperti luka terbuka yang belum sempat dipahami.
"Tempat ini dulu ramai?" tanya Arion saat mereka melewati puing-puing rumah setengah tenggelam di pasir.