Luna mencondongkan tubuhnya, menatap Arion dengan mata berbinar.
“Perempuan… bisa keluar masuk Lembah ini dengan mudah,” katanya ringan, seolah itu hal biasa. “Mereka diterima, dihargai… bahkan kadang gerbangnya membuka sendiri untuk mereka.”
Arion mengangkat alis, penasaran sekaligus khawatir.
“Dan… kalau aku?” suaranya serak.
Luna menarik napas, matanya menatap gerbang sejenak, lalu kembali ke Arion dengan senyum tipis tapi penuh arti.
“Lain ceritanya. Laki-laki… gerbang ini tidak ramah. Ia menilai setiap langkah, setiap niat. Kesalahan sedikit saja, dan kau… mungkin tidak akan pernah kembali keluar.”
Arion menelan ludah, keringat dingin menetes di pelipisnya.
“Apa… tidak ada jalan lain?”
Luna mengangkat bahu, seolah menimbang sesuatu yang ringan.
“Sebenarnya… ada cara. Cara termudah agar kau selamat dari penilaian gerbang.” Ia menatap Arion tajam, lalu menambahkan dengan nada misterius:
“Tutup matamu.”
Arion menatapnya bingung.
“Tutup… mata? Hanya itu?”
“Ya,” Luna tersenyum polos. “Kalau kau menutup mata… kau tidak akan melihat penilaian gerbang. Kau hanya akan mengikuti jalanku, seperti bayangan yang menempel dibelakangku. Percayalah… kalau kau mencoba membuka mata, atau terlalu banyak berpikir… gerbang akan tahu.”
Arion menarik napas panjang, menatap gerbang raksasa itu lagi. Kabut halus seolah menyentuh kulitnya, dingin dan menusuk. Ia ragu—tapi menatap Luna yang tersenyum penuh keyakinan membuatnya sedikit tenang.
“Baik… aku… aku akan menutup mata,” gumamnya, suaranya berat tapi tegas.
Luna menepuk bahunya ringan sekali lagi.
“Bagus. Sekarang… ikuti aku. Jangan pikirkan apa-apa. Hanya percayalah.”
Dengan hati-hati, Arion menutup matanya. Dunia sekitarnya menjadi gelap, tapi suara langkah Luna dan angin yang berdesir di pepohonan memberi petunjuk.
Setiap langkah terasa asing, setiap napas menusuk, tapi ia mengikuti Luna, satu langkah demi satu langkah, memasuki gerbang menuju Lembah Hawa… dunia yang misterius, memikat, dan menakutkan sekaligus.
———
Arion menapaki tanah yang lembap dan berkerikil, matanya masih tertutup. Angin dingin menusuk kulitnya, membawa aroma tanah basah dan bunga asing. Tapi yang paling membuatnya merinding… suara.
Suara-suara lembut, nyaris berbisik, terdengar dari arah gerbang. Suara itu seperti bisikan yang menilai—kata-kata yang tak bisa dipahami, tapi terasa menembus pikirannya. “Siapa kau… apakah layak… apakah pantas…”
Arion terhenti, napasnya tercekat. Tubuhnya kaku, jantungnya berdegup kencang.
“D-dewa-dewa… ini… ini tidak nyata, kan?” gumamnya, tangannya menggenggam gaun di pinggangnya.