Malam itu, di kamar sederhana yang disediakan Luna, Arion duduk di tepi ranjang, matanya menatap dinding remang yang diterangi cahaya bulan. Setiap sudut kamar terasa sunyi, seolah menunggunya mengakui apa yang sedang ia rasakan.
Pikiran tentang Luna terus menghantui—kulitnya yang halus, matanya yang bersinar lembut, suara yang menenangkan saat berbicara. Semua itu membuat Arion merasa… berbeda, seolah ada sesuatu yang baru terbangun di dalam dirinya.
Tubuhnya bereaksi dengan cara yang belum pernah ia alami sebelumnya. Sesuatu yang biasanya muncul di pagi hari kini hadir di tengah malam, halus tapi menekan. Arion menelan ludah, jantungnya berdebar, dan rasa malu perlahan merayapi setiap inci dirinya.
Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri. “Ini… ini aneh. Kenapa bisa terjadi sekarang?” gumamnya lirih. Napasnya tertahan sebentar, kemudian ia menghela panjang, berharap sensasi itu hilang begitu saja. Namun, tubuhnya tetap menuntut perhatian.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang hangat dan agak canggung. Rasa penasaran dan tekanan aneh itu akhirnya membuat Arion menyerah sejenak, membiarkan tubuhnya merespon dengan hati-hati, seolah menjaga rahasia kecil yang hanya ia sendiri yang tahu.
Dengan suara yang nyaris berbisik, ia berkata pelan, seakan hanya ingin kata itu hilang ke dalam malam:
“Maafkan aku… Luna.”
Di balik rasa malu itu, ada kesadaran hangat: Luna meninggalkan jejak di pikirannya, jauh lebih dalam dari yang ia sadari. Malam itu sunyi, tapi jejak itu terasa hidup—rapuh, lembut, nyata. Arion menyadari sesuatu tentang dirinya sendiri, sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
Ia menutupi wajah dengan bantal, mencoba menenangkan diri. Wajahnya panas, tangan gemetar, dan hati berdebar. Di tengah malu yang lembut dan rasa penasaran samar, ia merasakan perubahan dalam dirinya—hal yang bertentangan dengan prinsip Kaelith, namun begitu memikat dan menakutkan sekaligus.
———
Pagi hari, cahaya matahari lembut menyusup melalui celah-celah jendela kamar sederhana. Arion masih setengah terjaga, duduk di tepi ranjang dengan mata mengantuk, tapi pikirannya tetap terjebak pada malam sebelumnya—pada Luna dan semua hal aneh yang ia rasakan.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Luna masuk dengan langkah ringan. Rambutnya sedikit berantakan dan terlihat memakai apron, tapi senyumnya tetap ceria seperti matahari.
“Selamat pagi! Kau tidur nyenyak?” tanyanya sambil membuka gorden di kamar tersebut.
Arion tersentak, tersadar dari lamunannya. “Ah… iya… tidur… nyenyak,” jawabnya tergagap, matanya sesekali melirik Luna.
Luna menepuk pundaknya ringan. “Sarapan siap! Jangan bikin aku menunggu lama, nanti kau kalah cepat sama burung-burung di luar.”
Arion menggeleng pelan, lalu bangkit, mengikuti Luna duduk di kursi makan sambil menatap Luna yang masih sibuk dengan teh di dapur. Setiap gerakan gadis itu terasa santai dan alami. Matanya sulit lepas dari Luna—tidak hanya karena cantik, tapi ada sesuatu di dalam sikapnya yang membuat Arion terpesona.
Setelah beberapa saat hening, rasa ingin tahu yang mengganggu akhirnya muncul. “Luna, aku… ingin tanya sesuatu,” kata Arion, menelan ludah, suaranya rendah. “Tentang… cara mengambil sel telur dan sperma, apakah sama?”
Luna menoleh, alisnya terangkat, lalu tersenyum polos. “Kalau di sini, menggunakan cara-cara medis dan dilakukan dengan alat yang disebut jarum suntik khusus. Kau sendiri?”
Arion menunduk sebentar, lalu mengangguk. "Di Kaelith juga… seperti itu.”
Luna mengedipkan mata, duduk di kursi seberangnya, menyeruput teh sambil tersenyum. “Setelah itu, semuanya diambil dan diproses di Menara Kelahiran. Aku sendiri tidak tahu detailnya, karena setelah disuntik, sample itu langsung diproses. Sampai menjadi bayi. Sebagian dikirim ke Kaelith, sebagian tetap di Lembah Hawa.”