Padang rumput di bawah sinar matahari siang terasa hangat, angin membawa aroma tanah basah dan bunga liar. Arion dan Luna duduk berdampingan, kaki mereka merasakan dinginnya rumput, namun mata tak lepas menatap hewan ternak yang merumput jauh di depan.
“Apa di sini tidak ada hewan buas? Seperti harimau atau buaya?” tanya Arion, suaranya rendah, seolah tidak ingin mengganggu ketenangan lembah.
“Ada,” jawab Luna sambil tersenyum ringan, “tapi mereka ditempatkan di area khusus yang jauh dari pemukiman. Kau tidak perlu khawatir.”
Arion mengangguk, pandangannya beralih ke Luna. Profil wajahnya begitu lembut, mata Luna yang cerah menenangkan sesuatu di hatinya yang selama ini kaku. Ia menahan diri untuk tidak terlalu terpaku, tapi sulit. Ada ketenangan sekaligus daya tarik yang aneh di gadis itu.
Luna menoleh, dan seketika mata mereka bertemu. Dunia di sekeliling seakan memudar—angin, rumput, bahkan ternak di kejauhan—semua seperti menjadi latar belakang samar.
Luna menatap bibir Arion, merah natural, menonjol dibanding warna kulitnya yang pucat. Ada rasa penasaran dalam sorot matanya, campur antara kekaguman dan ingin tahu. Tanpa berpikir panjang, ia sedikit mencondongkan tubuh. Jarak mereka hanya beberapa inci.
Arion menegang, jantungnya berdebar keras. Ia tak menyangka Luna akan begitu dekat, begitu cepat. Udara di antara mereka terasa panas dan sunyi, hanya ada desiran angin dan bisikan daun di sekeliling.
“Aku ingin… mencoba bagaimana rasanya,” suara Luna hampir berbisik, nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat Arion menelan ludah.
Arion menatapnya, setengah takut, setengah penasaran. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menggenggam jemari Luna dengan lembut. Hatinya berdebar, napas mereka saling berirama, dan untuk sesaat, waktu terasa melambat.
Kemudian, dengan keberanian yang aneh, Arion mencondongkan wajahnya, dan bibirnya menyentuh bibir Luna. Lembut. Pelan. Seolah mereka berdua belajar untuk merasakan sensasi itu pertama kali—antara ingin dan malu, antara penasaran dan hormat.
Luna menutup mata sejenak, merasakan hangatnya, aroma yang asing tapi menenangkan. Arion juga menutup mata, dadanya berdebar, tetapi ada rasa damai yang aneh menyelimuti. Sentuhan itu, singkat tapi penuh makna, terasa seperti jembatan antara rasa penasaran dan emosi yang selama ini terpendam.
Saat mereka menarik diri, kedua wajah memerah, napas saling bertautan sebentar, tapi mata mereka tetap bertemu. Senyum kecil tersungging di bibir Luna, malu tapi hangat.
Arion menarik napas panjang, wajahnya masih merah seperti matahari sore yang hangat. Ia menatap Luna dengan ekspresi antara malu dan bingung.
“A-apa yang barusan terjadi…?” gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Ia menatap ke depan sambil menyentuh bibirnya.
Luna menyenggol bahu Arion, tersenyum malu. “Kau tahu, Arion. Rasa penasaran bisa membuat manusia lupa sekitar.” Matanya berbinar, tapi ada kilau kehangatan disana yang membuat Arion semakin grogi.
Arion menggaruk tengkuknya, menunduk. “Rasa penasaran? Maksudmu yang tadi itu... seperti eksperimen sosial?”
Luna tertawa kecil, mendekat sambil menggeleng. “Tidak, bukan itu. Hanya... aku penasaran saja, karena bibirmu terlihat berbeda dari yang biasa kulihat. Jadi... aku ingin tahu bagaimana rasanya.”