Ryn berhenti tepat di hadapan mereka, matanya masih terpaku pada Arion. Tatapan itu seperti bilah tipis, menelusuri setiap detail wajahnya.
“Jadi… namamu Aeri, ya?” ucapnya akhirnya, datar tapi penuh makna.
Arion membuka mulut, tapi belum sempat menjawab, Luna cepat menyela.
“Iya, Ryn. Aeri berasal dari lembah lain, jauh sekali dari sini. Ada kepentingan yang cukup mendesak, makanya Bunda Serenya menampungnya sementara di rumahku.”
Ryn mengangkat alis, lalu menatap Luna dengan ekspresi setengah percaya, setengah curiga. “Begitu, ya…”
Ia melipat tangan di dada, kemudian duduk di atas rumput tanpa diminta. Sorot matanya tak kunjung lepas dari Arion, meski senyum tipis mengiringi wajahnya.
“Lucu sekali. Belakangan ini kau jarang mampir ke rumah, jarang juga masak untukku. Ternyata kau sibuk menemani ‘sepupu’ barumu ini.”
Luna tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Kau ini berlebihan, Ryn. Aku tetap memikirkanmu, hanya saja Aeri butuh banyak penyesuaian.”
Arion merasakan tangannya dingin. Ia berusaha menjaga ekspresi datar, meski jantungnya memukul lebih keras daripada tadi ketika bersama Luna.
“Bunda Serenya yang memintamu?” tanya Ryn lagi, kini dengan nada lebih serius.
“Iya,” jawab Luna cepat. “Aku sendiri… tidak begitu tahu alasannya. Yang jelas, beliau bilang Aeri harus dijaga.”
Ryn menyipitkan mata, lalu menghela napas. “Masalahnya… Bunda Serenya sudah beberapa hari tidak ada di lembah. Aku sering patroli di sekitar Menara Kelahiran, dan tidak sekalipun melihatnya kembali. Bahkan orang-orang di Balai pun belum mendapat kabar pasti.”
Luna terdiam. Ada kerutan halus di keningnya, seperti baru mendengar sesuatu yang ganjil. “Bunda Serenya… pergi? Tanpa pesan?”
Ryn mengangguk pelan, lalu menurunkan suara seakan membisikkan rahasia.
“Ada kabar dari orang-orang lembah ke II. Sesuatu yang gawat terjadi di Kaelith. Katanya… ada seorang pemuda yang melarikan diri. Sampai sekarang belum ditemukan.”
Kata-kata itu membuat Arion menegang. Seluruh tubuhnya terasa seperti tersambar petir. Ia menunduk cepat, berharap rambut palsu panjangnya cukup untuk menyembunyikan perubahan wajahnya.
Ryn memperhatikan keduanya bergantian—Luna yang jelas terlihat gelisah, dan Aeri yang kaku seperti batu. Senyum miring terbit di wajahnya.
“Kalau tiba-tiba ada gadis yang mencurigakan… beritahu aku. Bisa saja itu penyamaran. Jangan-jangan, dia adalah pemuda Kaelith itu.”
Luna tersentak kecil, lalu buru-buru tertawa. “Kau ini! Mana mungkin?”
Namun Ryn tidak menoleh padanya. Pandangannya masih terkunci pada Arion. “Dan Luna…” suaranya menurun, tajam.
“Kau jangan keluar gerbang dulu. Berbahaya jika pemuda itu benar-benar berniat jahat padamu.”
Arion merasakan dada sesak, seolah Ryn sengaja menekankan kata-kata itu untuknya. Seperti ancaman tersembunyi, atau ujian untuk melihat reaksinya.
Ryn masih belum melepaskan pandangannya dari Aeri. Mata itu menelusuri pelan, dari ujung rambut hitam panjang yang jatuh di pundak, ke pakaian sederhana yang ia kenakan. Ada sesuatu yang terasa… janggal. Postur tubuh itu terlalu tegap, terlalu kaku untuk seorang gadis. Namun pandangannya sempat teralihkan pada lekuk samar di dada Aeri, membuat keraguan dalam dirinya sedikit teredam.
Ia mendengus kecil.