Arion masih tertegun. Tubuhnya kaku, seperti tak punya kendali. Ucapan Ryn barusan menusuk, seolah menyingkap sesuatu yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Tapi justru Luna—gadis yang mestinya paling terkejut—berdiri tegak di depannya, melindunginya tanpa ragu.
Saat Luna menoleh dan bertanya, “Arion, kau tidak apa-apa kan?”
Hatinya serasa diremas.
Ia ingin menjawab, ingin berkata kalau ia baik-baik saja. Tapi lidahnya kelu. Ada rasa hangat yang membanjiri dadanya—hangat yang sama sekali asing baginya. Ia terbiasa menghadapi dunia yang penuh dengan kekakuan, kedisiplinan, bahkan tatapan penuh persaingan sangat biasa di sana. Saat merasa dilindungi seperti ini? Dipercaya begitu saja tanpa kecurigaan? Itu hal yang tak pernah ia bayangkan.
Kenapa… kenapa kau begitu mudah mempercayaiku, Luna?
Matanya bergetar, menatap jemari Luna yang masih bertengger di lengannya. Sentuhan ringan itu terasa seperti api kecil yang menyala di kulit, menjalar ke seluruh tubuh. Ia ingin menjauh, takut rasa itu terbaca. Tapi pada saat yang sama, ia juga tidak ingin kehilangan momen.
Samar-samar ia teringat kata-kata Ryn: Mereka sangat mudah merendahkan perempuan!
Arion menunduk, dadanya sesak. Ia tidak tahu kenapa Ryn berkata demikian. Kerena seumur hidupnya dia tidak pernah bertemu dengan perempuan kecuali saat ini—bayangan tentang siapa dirinya sebelum kemari, dan betapa mudahnya orang salah paham membuat Arion sedikit frustasi.
Namun ketika ia menengadah lagi, menatap mata Luna yang penuh ketulusan, semua keraguan itu seolah mereda. Hanya ada satu hal yang pasti, Arion tidak ingin melukai kepercayaan gadis itu.
“Luna…” akhirnya bibirnya bergerak, suara lirih nyaris patah. “Aku… aku tidak layak kau percayai sejauh ini. Tapi apas dalam, mencoba menghsa lkoetegangan barusan. Ia nik, tapi akhirnya dapat juga kostum untuk tampil
Ia tersenyum, berusaha menormalkan suasana. “Walaupun bukan buatan sendiri, tapi cukup bagus. Aku hanya perlu sedikit menyesuaikan bagian pinggangnya nanti.”
Arion menatap kain itu, lalu kembali pada wajah Luna. Ia bisa merasakan upaya gadis itu—menutupi kegelisahan dengan senyum, seakan ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Rasa bersalah menyeruak di dada Arion, karena sadar dirinyalah penyebab semua ini.
Luna menepuk pelan lengannya, kali ini lebih tegas. “Sekarang… kau harus kembali menyamar sebagai Aeri. Jangan biarkan Ryn atau siapapun semakin curiga. Pulang dulu ke rumahku, ya? Tunggu di sana sampai aku selesai mengurus ini.”
Arion sempat membuka mulut, ingin membantah. Tapi tatapan Luna tak memberi ruang untuk protes. Hangat sekaligus tegas, seperti seseorang yang sudah memutuskan jalan apa yang akan mereka tempuh.
Akhirnya Arion hanya mengangguk pelan. “Baik… aku akan pulang.”
Ketika ia melangkah pergi, wig panjang dan penutup tipis di tubuhnya kembali terasa berat, tapi kali ini dengan makna berbeda. Ia sadar, penyamaran ini bukan lagi hanya untuk menyelamatkan dirinya… melainkan juga menjaga kepercayaan Luna.