Arion terdiam, buku di tangannya masih terasa hangat. Ia buru-buru meletakkannya di samping, seakan itu hanya benda biasa. Tapi detak jantungnya tak bisa bohong—berdegup keras seolah takut rahasianya terbongkar.
Luna melangkah masuk, kakinya nyaris tanpa suara di lantai kayu. Rambut panjangnya tergerai, sebagian menutupi pipi. Tatapannya lembut, namun ada sedikit keheranan di sana.
“Kau belum bisa tidur?” tanyanya pelan, duduk bersila di atas ranjang, berhadapan Arion. Cahaya bulan menyorot wajahnya, membuatnya tampak begitu dekat dan nyata.
Arion menghela napas, lalu mengangguk pelan. “Entah kenapa… mataku tak bisa terpejam.”
Keheningan singkat menyelimuti mereka. Hanya bunyi jangkrik di luar jendela, sesekali disusul desir angin yang membuat tirai bergoyang.
Luna menatapnya lebih lama. “Aneh. Biasanya kau selalu terlihat lelah setelah seharian berjalan. Tapi malam ini…” ia menyipitkan mata, seolah mencoba membaca isi hati Arion, “…kau tampak berbeda.”
Arion menelan ludah. Pandangan mereka bertemu, dan entah mengapa ia merasa tak bisa berbohong pada gadis itu. Ada sesuatu dalam sorot mata Luna—polos, hangat, sekaligus menusuk—yang membuat pertahanannya rapuh.
“Aku hanya… banyak berpikir,” jawabnya akhirnya, suara menurun nyaris berbisik.
Luna miringkan kepalanya, menunggu.
Arion terpaku. Tentang dunia ini. Tentang perasaan aneh yang mulai tumbuh. Tentang rahasia yang ia temukan di buku tadi. Semua itu berputar di kepalanya, tapi yang keluar dari bibirnya hanya kalimat singkat.
“Kadang aku merasa… terlalu banyak yang tidak aku mengerti di sini.”
Luna tersenyum tipis, lalu tanpa ragu meraih tangan Arion. Sentuhannya hangat, lembut, membuat Arion kaku seketika.
“Kau tidak harus mengerti semuanya sekaligus,” bisiknya. “Kalau terlalu berat… bagi saja denganku. Aku di sini, Arion.”
Arion terdiam. Jemarinya sedikit bergetar, tapi ia tak menarik tangannya. Malam itu, keheningan terasa berbeda. Bukan lagi kosong, melainkan dipenuhi sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Keheningan kian pekat. Hanya ada mereka berdua, duduk begitu dekat hingga setiap tarikan napas terdengar jelas. Genggaman tangan itu masih erat, seolah tak ada yang sanggup memisahkan.
Arion perlahan mengangkat wajahnya. Matanya menatap Luna, penuh keraguan sekaligus keberanian yang ia kumpulkan. Luna pun tak berpaling—justru menatap balik, matanya berkilau, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan di sana.
Jarak di antara mereka semakin menyempit. Begitu dekat, hingga Arion bisa mencium wangi samar rambut Luna. Begitu dekat, hingga Luna bisa merasakan hembusan napas hangat Arion menyentuh kulitnya.
Bibir mereka hampir bertemu. Detik itu terasa melambat, seperti dunia menahan napas menunggu sesuatu yang akan pecah.