Tanah Tanpa Hawa

Deany Na
Chapter #15

Bab 14 - Ketukan di Tengah Malam

Bayangan itu hanya melintas sebentar, tapi cukup membuat Arion terjaga sepenuhnya. Ia menahan napas, tubuhnya tegang seperti busur yang ditarik. Tirai di jendela bergoyang pelan, cahaya bulan menorehkan garis samar pada lantai kayu.


Ia bergerak hati-hati, mendekati jendela. Jantungnya berdentum keras, seolah setiap detaknya bisa terdengar keluar. Saat ia menyingkap sedikit tirai…


Kosong. Hanya hamparan gelap dan padang rumput yang berkilau karena embun.


Arion mengernyit, matanya menyapu sekitar. Namun, sebelum ia sempat menarik napas lega, suara berdetak terdengar dari belakang rumah.


Krek. krek.


Suara langkah kaki di atas tanah basah. Teratur. Pelan. Seperti seseorang yang sengaja menahan gerakannya agar tak ketahuan.


Arion meraih benda pertama yang bisa ia pegang—sebatang sapu kecil di sudut ruangan dan rambut palsu. Ia mengepalkan erat, lalu melangkah menuju pintu keluar setelah rambut dipasang.


Namun ketika tangannya hampir menyentuh gagang, pintu itu sendiri bergetar pelan.


Tok. Tok.


Ketukan lirih. Teratur. Dua kali saja. Arion menelan ludah, jemarinya basah oleh keringat dingin. Lalu sebuah suara, nyaris berbisik, terdengar dari balik pintu.

“Kaelith…”


Tubuh Arion langsung membeku. Nama itu—nama dia berasal—yang tak seharusnya diketahui siapa pun di lembah ini.


Arion memberanikan diri memutar gagang pintu. Bunyi krek terdengar pelan saat pintu itu terbuka. Cahaya bulan jatuh menembus celah, menyorot sosok yang berdiri tegak di ambang.


Ryn.


Tubuhnya tegap, bayangannya terpotong cahaya perak malam. Mata tajam itu menatap lurus ke arah Arion, datar, tanpa emosi. Seolah ia sudah tahu semua jawaban sebelum pertanyaan sempat diucapkan.


Arion menahan napas, jemarinya masih menggenggam sapu di tangan. Ryn menurunkan pandangan sekilas pada benda itu, lalu kembali menatap Arion tanpa berkata apa-apa.


Diam. Hanya ada angin malam yang menyusup, membawa aroma tanah lembap.


Hingga akhirnya, bibir Ryn bergerak. Suaranya rendah, tenang, tapi berat—seperti batu yang jatuh ke dasar sumur.

“Ikut aku.”

Bukan ajakan, lebih seperti perintah.


Arion tertegun. Kata-kata itu menancap, menekan dadanya. Ada sesuatu dalam tatapan Ryn—tegas, tak bisa ditawar. Dan di balik ketenangan itu, seakan tersimpan api yang sudah lama menunggu saatnya meledak.


Arion menelan ludah, masih berdiri kaku di depan pintu. Bayangan Ryn yang tegak di ambang terasa menekan, seolah seluruh udara di dalam kamar tersedot keluar.

Lihat selengkapnya