Arion menggertakkan gigi, berusaha menguasai dirinya. “Aku bukan seperti yang kau pikirkan,” ucapnya dengan nada tertahan. “Aku datang ke sini bukan untuk merendahkan siapa pun. Aku hanya… ingin memahami.”
Ryn berhenti melangkah, lalu menoleh separuh, sorot matanya menelusuri wajah Arion. Keheningan singkat tercipta, hanya langkah kaki para penjaga lain yang terdengar samar di kejauhan.
Kemudian bibir Ryn melengkung. Senyum itu bukan sekadar ejekan, ada sesuatu di dalamnya, seperti tantangan yang tersembunyi. “Baiklah,” katanya datar, “aku akan beri kau kesempatan. Tunjukkan padaku, kalau kau memang berbeda dari lelaki lain.”
Arion menelan ludah, rasa lega bercampur gentar mengalir di dadanya. Namun sebelum ia bisa menanggapi, langkah Ryn kembali berlanjut. Tegap, cepat, tanpa keraguan sedikit pun.
Mereka berhenti tepat di depan sebuah pintu besar menjulang tinggi, terbuat dari logam hitam yang berkilau di bawah cahaya obor. Pintu itu dikelilingi ukiran simbol-simbol kuno yang entah kenapa membuat udara di sekitarnya terasa berat.
Ryn menoleh sekilas, sorot matanya kali ini serius, bahkan dingin. Suaranya terucap lirih, tapi jelas, penuh tekanan.
“Siapkan dirimu.”
Arion menegang. Jantungnya berdentum kencang, menyadari bahwa apa pun yang menantinya di balik pintu Menara itu bukanlah hal sepele.
Begitu pintu berat Menara berderit terbuka, Arion melangkah masuk. Udara dingin langsung menyambutnya, menusuk sampai ke tulang. Lantai pertama itu kosong, hanya ruangan putih yang luas dan sunyi.
Namun yang membuat langkahnya terhenti adalah empat patung besar yang berdiri di setiap sudut ruangan.
Patung-patung itu semuanya perempuan. Tubuh mereka tertutup kain panjang dari ujung kepala hingga kaki, tak menyisakan lekuk tubuh sedikit pun. Wajah mereka dingin, nyaris tanpa ekspresi, dan yang paling aneh mata mereka ditutup kain. Seolah dunia memilih untuk membutakan mereka.
Arion bergidik. Pandangannya turun ke bagian kaki patung, dan ia tercekat. Ada ukiran besar, satu kata di masing-masing alas;
Sudut pertama, suci.
Sudut kedua, terlindungi.
Sudut ketiga, tertutup.
Sudut keempat, berharga.
Kata-kata itu seolah bergaung di ruangan kosong, menghantam telinga Arion lebih keras daripada suara Ryn.
Ia merasakan dadanya menegang. Kata-kata itu terdengar indah, tapi di telinganya justru seperti belenggu.
Ryn berhenti di tengah ruangan, menoleh padanya. Tatapannya tajam, sinis, seolah tahu betul apa yang sedang berkecamuk di kepala Arion.
“Selamat datang di Menara Kelahiran,” ucapnya pelan, suaranya menggema. “Di sinilah segala aturan dimulai.”
Arion berdiri lama di tengah ruangan putih itu. Pandangannya berpindah dari patung satu ke patung itu lagi, lalu ke kata-kata yang terukir di bawahnya. Ada sesuatu yang terasa asing, tapi juga sulit dicerna.