Tanah Tanpa Hawa

Deany Na
Chapter #17

Bab 16 - Rekaman Kebenaran

Serenya melepaskan pelukannya perlahan, lalu menatap wajah Arion dari jarak dekat. Senyumannya tetap sama—tenang, tulus, tapi juga penuh rahasia.


Arion mundur setapak, menatapnya dengan sorot mata penuh keraguan, tubuhnya sedikit gemetar.

“Tidak, itu mustahil. Aku hanya punya satu orang tua. Yaitu Jenderal Varkus. Meskipun…” suaranya melemah, “…aku tidak begitu mengerti apa yang dimaksud orang tua. Karena sejak kecil Jenderal tidak pernah menemuiku sekalipun.”


Serenya menatapnya lama, seolah mencoba membaca setiap detail raut wajah Arion. Lalu ia menarik napas dalam dan berbicara dengan nada lembut namun tegas.

“Orang tua adalah sebutan untuk manusia yang telah memiliki keturunan… hasil dari pembuahan sel telur dengan sel sperma.”


Ia berhenti sejenak, senyumnya muncul samar, tapi ada luka di baliknya.

“Wajar kalau kau tidak mengerti, Arion. Karena Varkus memang seperti itu. Bahkan padaku.”


Senyum itu berubah menjadi miris, seperti seseorang yang sedang mengulang kepingan masa lalu yang pahit, tapi tetap memilih menunjukkannya dengan ketenangan.


Arion masih terpaku. Kata-kata Serenya menggema di kepalanya, membuat dadanya sesak. Ia mencoba menelan ludah, tapi kerongkongannya kering.

“Bahkan… padamu?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.


Serenya mengalihkan pandangan sejenak, menatap ke arah jendela besar di lorong itu. Cahaya bulan jatuh menyinari wajahnya, menegaskan gurat-gurat kedewasaan yang sarat cerita.

“Ya. Varkus… tidak pernah menganggap hubungan ini sebagai sesuatu yang penting. Baginya, semua hanyalah tugas dan kewajiban. Bahkan saat itu, aku pun hanya bagian dari 'rencananya dalam menyelesaikan tugas'.”


Ia kembali menatap Arion, kali ini lebih lembut, nyaris seperti tatapan seorang ibu yang penuh rindu.

“Kau tahu, Arion? Tatapan matamu, caramu berdiri, bahkan nada suaramu. Semuanya membuatku yakin darah yang mengalir dalam dirimu adalah juga darahku.”


Arion terdiam, jantungnya berdebar kencang, seperti ingin meledak keluar dari dadanya. Sebagian dirinya ingin membantah, tapi sebagian lagi—yang selama ini selalu dihantui rasa kosong—merasa kalimat Serenya seperti menemukan celah kebenaran yang hilang.


Arion, dadanya terasa sempit oleh beban kata-kata Serenya. Ia belum sempat menemukan jawaban, ketika Serenya melangkah pelan mendekat. Jemarinya menyentuh ringan lengan Arion, hangat tapi penuh kendali.

“Aku tahu, ini sulit kau percayai sekarang.” suaranya lembut, namun ada ketegasan di dalamnya. “Tapi ada hal lain yang harus kau lihat… sesuatu yang tidak semua orang berhak mengetahuinya.”


Ia lalu melirik ke arah ruangan yang menjadi tempatnya keluar tadi. Pintu berwarna abu-abu tua dengan ukiran samar terlihat menunggu, seolah menyimpan rahasia yang telah terkunci cukup lama. Serenya menoleh kembali, senyumnya terukir tipis—tulus, namun ada bayangan misteri yang menyertainya.


“Arion, ikutlah denganku sekarang. Aku ingin menjelaskan sesuatu… sesuatu yang akan membuatmu mengerti mengapa aku berkata demikian.”


Langkahnya anggun, tanpa suara, gaunnya bergeser menyapu lantai. Sesekali ia menoleh ke belakang, memastikan Arion mengikutinya. Senyum itu tak pudar, justru terasa semakin menekan dada Arion antara kehangatan dan kegelisahan.


Arion akhirnya menuruti ajakan Serenya. Kakinya terasa berat, tapi tetap bergerak mengikuti langkah wanita itu. Setiap detik terasa panjang, seolah dinding-dinding menara ikut menatapnya dengan dingin.

Lihat selengkapnya