Tanah Tanpa Hawa

Deany Na
Chapter #18

Bab 17 - Dokumentasi Asli

Suara narator perempuan terdengar kaku, seakan direkam terburu-buru:


“Kasus ini menjadi awal terkuaknya kebejatan para lelaki di era pasca-perang. Seorang anak perempuan berusia dua belas tahun ditemukan trauma berat setelah…”


Arion langsung mengerutkan kening, dadanya terasa sesak. Ia ingin menutup telinganya, tapi tangannya justru mengepal.


Gambar berganti—sebuah ruang sempit, wajah buram seorang gadis kecil yang disensor, sedang duduk di kursi. Bahunya bergetar. Di belakangnya, para perempuan dewasa berusaha menenangkan, sementara kamera bergetar seolah dipegang oleh seseorang yang marah.


Arion menelan ludah. Ada sesuatu di dadanya yang terasa asing—campuran marah, takut, dan ngeri.


Ia melirik ke arah Serenya. Perempuan itu masih tenang, kedua tangannya bersedekap, matanya tidak pernah lepas dari layar.


“Ini… yang ingin kau tunjukkan padaku?” suara Arion serak, keluar lebih lirih dari yang ia maksudkan.


Serenya mengangguk pelan, lalu menjawab tanpa menoleh, “Ini baru permulaan, Arion. Masih banyak yang harus kau lihat, sebelum memahami kenapa dunia ini diciptakan seperti sekarang.”


Rekaman berikutnya bergulir. Suara narator berganti, kali ini lebih dingin, seakan tak peduli dengan perasaan siapa pun yang mendengarnya:


“Kasus pemerkosaan terhadap perempuan muda terus meningkat. Namun dunia—yang kala itu dikuasai oleh hukum dan koneksi—lebih sering menutup mata.”


Gambar di layar menampilkan potongan berita. Wajah seorang pria berjas rapi ditutupi dengan sensor, sementara sekelompok wartawan berebut mikrofon. Di sisi lain, seorang gadis belia dipapah ibunya, menangis tersedu dengan wajah tertutup kain tipis.


“Keluarga korban menuntut keadilan,” suara reporter terdengar, “namun karena pelaku adalah putra pejabat tinggi, kasus ini dinyatakan selesai melalui jalur damai.”


Arion mengerutkan alis, rahangnya mengeras. Jari-jarinya mencengkeram lutut semakin kuat.


Rekaman berganti lagi. Kali ini, gambar buram ruang pengadilan. Seorang perempuan muda berdiri, tubuhnya gemetar. Lawan bicaranya—seorang lelaki berpakaian sederhana, wajahnya pun ditutup sensor—berdiri di seberang.


“Kasus ini berbeda,” narator melanjutkan. “Keduanya sama-sama miskin. Namun hakim memutuskan, korbanlah yang salah, karena tidak menutup tubuhnya dengan pakaian yang dianggap layak.”


Kalimat itu menggema di telinga Arion. Ia merasa mual.


Gadis di layar menangis, wajahnya ditundukkan. Sementara suara hakim yang berat terdengar jelas,


“Seorang perempuan wajib menjaga dirinya. Jika ia mengenakan pakaian tertutup, ini takkan terjadi.”


Arion menahan napas, matanya membelalak. Dunia di sekitarnya seolah meredup, hanya menyisakan rasa panas di dadanya.


Serenya, yang berdiri di sampingnya, menoleh perlahan. Senyum tipis muncul di bibirnya—senyum yang aneh, antara getir dan puas.


“Beginilah kenyataannya, Arion,” katanya lembut. “Sejarah mencatat, perempuan dipaksa menanggung luka. Sedang lelaki… selalu dilindungi.”


Arion menunduk, pandangannya berat. Dadanya naik-turun cepat, seolah setiap kata itu menusuk dirinya.

Lihat selengkapnya