Di dalam ruangan itu, Serenya mematikan mesin pemutar. Suasana hening menempel berat. Arion duduk kaku, wajahnya putih, matanya berputar—mencoba menelan semua yang baru saja ia lihat. Tubuhnya tremor, tapi bukan karena dingin. Tapi karena ada sesuatu yang patah di dalam dirinya, pertanyaan-pertanyaan lama yang tiba-tiba mendapat jawaban kejam.
Serenya menatapnya lama, tidak menambah kata. Di wajahnya ada kepedihan yang dalam—bukan kebencian yang meledak, melainkan pahitnya kenyataan bahwa sebuah cinta ayah berubah menjadi rencana yang merobek tatanan manusia. Arion tak bisa langsung bicara. Satu kalimat kecil keluar dari bibirnya, suara serak, “Jadi… dari sinilah semuanya bermula?”
Serenya hanya mengangguk pelan, air mata tak pernah jatuh, tapi kesedihan di matanya cukup untuk menjelaskan segalanya. Di antara rak-rak dokumen tua, di hadapan patung ayah dan anak itu, dua generasi menatap sisa-sisa tragedi—sebuah sejarah yang sengaja dikemas ulang, disimpan, dan kini dipertontonkan kembali agar kebenaran yang pahit bisa menjadi pijakan bagi yang berani mendengarnya.
Arion terpaku di tempatnya. Rekaman yang baru saja ia lihat masih berputar di kepalanya, bergema tanpa henti. Suara tawa pecah Hawa, wajah Profesor Nareth yang hancur oleh amarah dan cinta yang salah arah—semua itu menancap dalam, menusuk jauh ke dadanya.
Tangannya mengepal tanpa sadar. "Jadi, semua ini berawal dari luka seorang ayah (laki-laki)…" pikirnya.
Dadanya sesak. Ia ingat lagi masa kecilnya—sunyi, sepi, tanpa pelukan siapa pun. Ia teringat Jenderal Varkus, sosok yang hanya hadir sebagai bayangan besar, tanpa pernah menyentuh atau menatapnya penuh kasih. Kini, di depan matanya, ada seorang ayah yang justru terlalu jauh mencintai, hingga menghancurkan dunia demi anaknya.
Arion menunduk, rambutnya menutupi wajah.
"Aku…" suaranya pecah, hampir tidak terdengar. "Kalau saja aku ada di posisi Hawa... apakah aku juga akan menginginkan dunia berubah demi aku sendiri?"
Di antara gemetar dan rasa marah yang tak bisa dijelaskan, ada juga ketakutan.
Ketakutan bahwa dirinya mungkin sama. Sama haus akan jawaban, sama haus akan perubahan, sama haus akan sesuatu yang hilang.
Dia memandang patung laki-laki dan perempuan di tengah ruangan. Tiba-tiba patung itu tak lagi tampak sebagai simbol, melainkan bayangan dari apa yang sudah rusak, cinta yang bisa jadi keselamatan, tapi juga bisa berubah menjadi bencana.
Arion menutup wajah dengan satu tangan. Napasnya berat, seperti hendak pecah.
“Apa semua ini… benar-benar takdirku?”
Serenya berdiri tak jauh dari Arion, memperhatikan setiap perubahan di wajahnya. Tatapan kosong, rahang yang menegang, jemari yang bergetar—semua itu menunjukkan betapa kuatnya guncangan yang baru saja ia terima.
Perempuan itu melangkah pelan, suaranya lirih namun jelas.
“Berat, bukan? Mengetahui bahwa dunia yang kau pijak... lahir dari amarah dan luka.”