Tanah Tanpa Hawa

Deany Na
Chapter #20

Bab 19 - Keputusan Akhir

Langit di atas Lembah Kaelith tampak pucat. Awan bergerak lambat, seolah waktu sendiri enggan berjalan. Angin menggigit kulit, membawa aroma daun dan tanah basah.


Arion berdiri di depan pintu besar yang baru saja menutup di belakangnya. Suara mekaniknya masih menggema samar, seperti napas terakhir dari rahasia yang tak seharusnya ia dengar.


Ia menatap tangannya—gemetar ringan.

“Begitu banyak penderitaanku di Kaelith... hanya karena jenis kelamin?” bisiknya lirih.


Bayangan wajah Serenya melintas. Senyum lembut itu, yang di baliknya tersembunyi misteri masa lalu, kini membuat dadanya terasa sesak.

Ia mengingat mata perempuan di dalam tv tabung—mata yang tak lagi menangis, tawa yang menggema dalam ruangan, karena mungkin air matanya sudah kering sebelum dunia berubah total.


Arion menarik napas dalam. “Kalau aku diam, dunia akan terus seperti ini.”


Ia melangkah pelan, menuruni tangga batu yang menuju jalan setapak. Setiap langkah terdengar berat, seperti menghantam hati nuraninya sendiri.


Dalam pikirannya, wajah Luna muncul—hangat, jujur, dan hidup. Berbeda dari semua yang ia lihat di Menara. Luna adalah alasan mengapa ia yakin bahwa dunia ini masih bisa diperbaiki.


“Tradisi ini harus berakhir,” katanya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Laki-laki dan perempuan tidak boleh terpisah selamanya.”


Namun, dalam keheningan itu, suara Serenya seolah bergema lagi,

“Jangan sampai satu keputusanmu mengulang kehancuran yang sama, Arion.”


Ia menoleh ke belakang, ke arah menara yang kini tampak kecil di kejauhan. Sinar lembut dari puncaknya berpendar biru, seperti mata yang terus mengawasi.


Arion memejamkan mata. Ia tahu, sejak saat itu, langkahnya tak lagi bisa kembali. Tapi apa pun yang menunggunya di depan… setidaknya kali ini, ia berjalan bukan karena perintah siapa pun, melainkan karena pilihannya sendiri.

———

Lampu bohlam di ruang tamu berpendar lembut, menebar bayangan hangat di dinding kayu. Luna sudah tertidur di kamar sebelah—napasnya teratur, damai.


Arion duduk di kursi rotan, menatap nyala lilin elektrik di meja. Wajahnya tampak letih, tapi matanya masih menyala.

Ryn berdiri di dekat jendela, bersandar dengan tangan terlipat di dada.

Tatapan perempuan itu tajam, seperti biasa.

“Jadi,” kata Ryn akhirnya, “kau keluar dari Menara begitu saja tanpa seizin Bunda Serenya?”


Arion menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Aku keluar dengan keinginanku sendiri. Sudah cukup aku dicekoki video-video doktrin yang tidak masuk akal.”


Ryn mengernyitkan alis, seolah kebingunan mendengar perkataan Arion. “Apa yang kau maksud? Doktrin apa?”


Arion tidak menjawab. Ia hanya menatap lilin di depannya. Beberapa kali nyalanya meredup namun tidak benar-benar mati, seolah mencerminkan pikiran Arion yang saat itu sudah tidak beraturan.


“Aku akan tetap tinggal di sini untuk sementara,” katanya perlahan tanpa menjawab pertanyaan Ryn.

“Besok Luna akan tampil di balai. Aku ingin melihatnya dulu sebelum kembali ke Kaelith.”


“Dan apa kau pikir itu ide bagus? Setelah apa yang kau katakan pada Luna? Kau itu—”


“Ryn.” Arion memotongnya. Nada suaranya tenang, tapi tegas.

“Untuk sementara… aku ingin kau menyembunyikan identitasku. Jangan ada yang tahu aku pernah datang ke Menara. Jangan ada yang tahu siapa aku sebenarnya.”


Ryn menatap Arion lama, lalu akhirnya menghela napas.

Lihat selengkapnya