Langit pagi memantulkan cahaya lembut di atas Balai Pertunjukan. Dari balik orang-orang, Arion berdiri diam, memperhatikan sosok Luna yang tengah berlatih. Gerakan gadis itu masih belum sempurna, tapi setiap putaran tubuhnya menyiratkan semangat dan keyakinan. Senyum Luna sesekali muncul ketika para perempuan pemusik memukul alat tabuh dari kayu dan kulit hewan.
Suara itu menggema, membaur dengan desir angin lembah.
Arion hanya memandangi dalam diam. Ia tahu, sebentar lagi semua ini tak akan bisa ia saksikan lagi. Dan entah kenapa, bagian dalam dadanya terasa sesak.
Malam pun tiba. Lembah Hawa berubah menjadi lautan cahaya lentera. Semua perempuan berkumpul di Balai untuk menyaksikan penampilan Luna dan penari lainnya pada malam itu.
Musik tabuh dimainkan, mengalun pelan lalu menggelegar di udara malam. Dari atas pohon besar, Arion menatapnya dari balik dedaunan. Wajahnya setengah tersembunyi oleh bayangan.
Luna menari. Kain lembut di tubuhnya berputar mengikuti irama. Rambutnya berkilau di bawah cahaya bulan. Setiap langkah, setiap gerak tangannya, seolah menyihir seluruh penonton—dan juga Arion.
Ia tidak sadar, jemarinya mengepal di dada. Bibirnya bergetar, ingin memanggil nama itu… tapi urung.
Ia tidak boleh. Tidak kali ini. Malam itu bukan miliknya.
Begitu musik terakhir berhenti dan tepuk tangan pecah di seluruh lembah, Arion turun dari pohon dengan langkah berat. Ia menunduk, berjalan melewati jalan setapak menuju Gerbang Lembah Hawa.
Udara dingin menerpa wajahnya. Tudungnya ditarik lebih rapat. Hanya tinggal beberapa langkah lagi sebelum semua selesai.
Tapi—
“Berhenti!” Suara itu memecah sunyi.
Arion membeku. Suara yang sama. Nada yang sama. Satu-satunya suara yang bisa menembus hatinya. Ia menatap tanah, mencoba berpura-pura tak mendengar. Lalu melangkah lagi.
“Kubilang berhenti!”
Langkahnya makin cepat. Tapi tiba-tiba, ada sesuatu yang melingkar di pinggangnya. Hangat. Halus. Gemetar.
Pelukan. Luna memeluknya dari belakang, kencang, seolah takut kehilangan.
“Kenapa kau tidak mendengarku, Arion…” suara itu pecah. “Kenapa kau pergi begitu saja?”
Arion terdiam. Tangannya terangkat, ragu. Ia ingin melepaskan diri… tapi semakin ia mencoba, semakin erat pelukan Luna menahan.
Hening. Yang terdengar hanya napas mereka berdua dan desir lembut angin malam.
Luna masih memeluknya erat. Tubuhnya sedikit bergetar, tapi genggamannya tak melemah. Arion menunduk, membiarkan kehangatan itu menyelimuti punggungnya untuk sesaat. Sebuah jeda yang terasa panjang… terlalu panjang bagi seseorang yang harusnya sudah pergi.
“Luna…” suaranya nyaris tak terdengar.
Ia menutup mata. Dalam kegelapan itu, semua kenangan berputar lagi, tawa Luna, cara gadis itu menatapnya, suara lembutnya yang selalu bisa menenangkan.