Chapter #3
Saat Ini di Dalam Pesawat
TANDA mengenakan sabuk pengaman menyala, disertai suara khas yang berdenting. Lantas disusul suara pilot pesawat menyampaikan sesuatu membelah sunyi kabin. Rupanya, pesawat akan melewati badai yang terjadi di depan. Guncangan akibat badai mungkin akan terjadi beberapa saat. Penumpang tetap tenang.
Aku melihat penumpang yang lain bergegas menyematkan sabuk pengaman. Beberapa di antara mereka terlihat berkomat-kamit, mungkin berdoa. Ya, berdoa. Bukankah berdoa akan menentramkan jiwamu? Melepasmu dari kecemasan? Kulihat ibu memandangku. Kakakku masih tertidur di kursi samping ibu. Begitu nyenyak ia tertidur.
Pandangan ibu masih hampa. Ada derita di bolamatanya. Derita yang kini kutanggung juga. Sepertinya kami sepakat untuk tidak berdoa. Atau mungkin berdoa, boleh jadi berdoa untuk sesuatu yang lain.
Ketika badan pesawat betul-betul terguncang-guncang, aku sempat berharap. Berharap pesawat ini benar-benar terguncang lebih dahsyat. Lebih bergoyang-goyang dari ini. Lalu tersambar petir, lalu pecah, meledak berkeping-keping bersama tubuh-tubuh di dalamnya. Atau, aku berharap pesawat ini jatuh. Menghunjam bumi atau tenggelam di dasar samudera yang berada di bawah sana. Lalu hilang bersama kami, tubuh-tubuh yang ada di dalamnya.
Aku melirik ibuku. Ia, membalas melirikku. Ibu tersenyum hampa. Aku tahu, ibu pun ingin pesawat ini jatuh. Dan kami mati. Mati bersama. Kakakku terbangun dari tidurnya yang lelap, mungkin mimpinya terganggu oleh guncangan. Ia lalu menggamit tangan ibuku. Ia juga menatapku lekat. Semoga kita mati bersama.
Pesawat terguncang sungguh sangat lama. Penumpang yang lain mulai panik. Ada yang berteriak-teriak, ada yang menangis dan banyak juga yang menyebut kebesaran Tuhan. Oh, Tuhan yang Mahaberkehendak jatuhkan pesawat ini. Jatuhkan pesawat ini. Mulutku berkomat-kamit, berdoa agar pesawat ini benar-benar jatuh.