Chapter #5
Saat Ini Masih di Dalam Pesawat
LAMPU tanda mengenakan sabuk pengaman padam, disertai suara dentingan yang khas. Ting! Penumpang mengembuskan napasnya yang tertahan, lega. Kami tak jadi mati bersama. Tubuh kami tak jadi hancur berkeping-keping bersama serpihan badan pesawat yang hancur terkena badai. Dengan intonasi suara yang tak berubah (pasti pilot telah dilatih untuk bersuara dengan irama datar), pilot melaporkan bahwa cuaca kini telah cerah kembali. Dipastikan dalam waktu tidak kurang dari 45 menit lagi kami akan mendarat di Jakarta.
Ibu tampak kecewa. Begitu juga aku, begitu juga kakakku. Bukankah kami telah memanjatkan doa agar pesawat ini jatuh? Ternyata pesawat tidak jatuh, doa kami tak dikabulkan. Mungkin karena kami hanya bertiga. Lebih banyak penumpang yang memohon keselamatan. Itulah sebab, mengapa orang lebih suka berdoa bersama-sama. Tidak bertiga, apalagi sendiri. Bukankah mereka lebih dominan di hadapan Tuhan? Apalah kami yang cuma bertiga.
Oh, tidak. Kami tidak bertiga. Ada ayah dalam pesawat ini bersama kami. Tapi, apakah tadi ayah ikut berdoa?
Pasti kalian heran. Sedari tadi aku bercerita tentang keadaan kami dalam pesawat yang sedang terbang ini, tak pernah menyinggung soal ayahku apakah ikut juga di pesawat ini. Lalu, kenapa aku katakan bahwa kami tidak bertiga?
Ya, karena ayahku berada dalam pesawat ini juga. Tidak percaya? Ayah berada di tempat yang lain. Ya, di tempat yang lain masih di pesawat ini. Bolehkah aku mengajak kalian mendengarkan kisahku lagi? Kisahku tidak terlalu panjang.
Dua bulan setelah insiden pintu rumah kami terbuka mendadak. Di suatu malam yang basah akibat hujan sepanjang hari, Pak Purwadi mengetuk pintu rumah kami. Kebetulan aku sedang belajar dan mengerjakan PR di ruang tamu, aku bergegas membukakan pintu.
”Ayahmu ada, Galih,” tanya Pak Purwadi basa-basi.
”Ada, Pak. Silakan masuk, silakan duduk,” jawabku dan mempersilakannya untuk duduk. Aku membereskan buku-buku yang berserak di meja tamu dan menuju ke ruang keluarga. Lantas aku menuju lantai dua dan memberitahu Pak Purwadi menunggu di ruang tamu.
Ayah memperbaiki posisi sarungnya dan ibu bergegas turun ke dapur untuk menyiapkan minuman alakadarnya.
”Tumben,” hanya itu kata yang diucapkan ayah saat hendak turun ke lantai bawah.