Chapter #9
Saat Ini di Rumah Nenek
SEKARANG matahari telah tenggelam di ufuk barat. Pendar warna senja mulai melindap. Langit menjadi temaram dan kegelapan malam mulai membutakan segalanya.
Tubuh manusia bisa musnah ketika ia tak bernyawa lagi. Seperti tubuh ayah. Tubuh ayah diangkat oleh beberapa kerabat dari dalam peti ke atas kasur yang telah diselimuti kain batik warna gelap bercorak kelam. Di sudut-sudut ruangan bubuk-bubuk kopi ditabur dalam mangkok-mangkok terbuka. Seikat kembang melati tertata rapi di sebuah vas keramik berwarna putih. Beberapa kelopak melati gugur di atas karpet-karpet yang digelar di lantai.
Suara orang-orang mengaji tumpang-tindih dengan suara isak tangis kerabat dan saudara yang baru saja datang melayat. Mereka tak menyangka ayahku berpulang secepat ini. Aku dan kakakku duduk bersila kelelahan di lantai. Kami belum tidur sejak semalam, di pesawat terbang tadi, akibat badai yang menerjang, kami benar-benar terjaga sepanjang perjalanan udara yang menyedihkan itu. Rasanya kami pun masih belum percaya, kami berada di rumah nenek untuk mengantar ayah ke liang lahat.
Padahal empat bulan lalu, kami berkumpul di tengah ruangan ini dengan suka-cita, merayakan lebaran bersama nenek dan sanak-saudara dari pihak ayah dan ibu. Makan ketupat, opor ayam dan berebutan uang angpao lebaran. Kini, kami bersimpuh dalam duka-cita. Oh, pantaslah sewaktu di pesawat tadi kami sepakat berdoa bersama agar pesawat yang membawa kami jatuh terhempas badai. Agar kami mati bersama ayah. Agar kami tetap menjadi keluarga yang utuh walaupun di alam kematian. Bukan kah, jiwa tak pernah mengenal mati? Biarlah, jiwa-jiwa kami lepas dari jasad dan kami bertemu dalam kehidupan yang abadi. Bersama ayah.
Dengan suara lirih aku mulai bercakap-cakap dengan kakakku. Kami berbincang-bincang, sambil mengingat-ingat kejadian hari Rabu sore kemarin ketika ayah menyampaikan kabar ia dipromosikan menjadi Kepala Bagian.