Chapter #12
Tanda Cinta dari Akhirat
BAYANGAN hitam pekat. Aku merasa pernah melihat bayangan itu. Ya, aku kenal bayangan hitam pekat itu. Tapi, di mana? Kapan?
”Ah, aku ingat!” seruku.
Bayangan itu yang membuka dan menutup pintu rumah kami di Medan, di tengah malam, dan kemudian bayangan itu pergi bersatu dengan kegelapan malam mengikuti angin bercampur dengan udara. Aku ingat bayangan hitam pekat itu.
Aku merasa baru saja berpisah dengan dunia saat gulungan angin tersebut mengangkat tubuhku ke langit. Membawaku sangat tinggi. Menjauh dan terus menjauh. Tubuhku melampaui awan-awan tebal yang dingin, semakin tinggi semakin dingin, semakin tinggi, dan akhirnya aku terempas bukan di langit ketujuh, apalagi di surga, tetapi di sebuah ruangan.
Rupanya sekarang aku berada di sebuah ruangan besar dengan kursi-kursi panjang berderet rapi. Dinding ruangan ini mengembuskan hawa dingin sedingin es, hidungku beruap saat bernapas. Aku duduk sambil bersedekap menahan gigil dingin. Lantas aku berdiri dan mengelilingi ruangan ini untuk mencari tahu.
”Ruang apa ini?” tanyaku.
”Seperti ruang tunggu yang mahabesar,” gumamku.
Ketika itu aku mendengar seseorang memanggilku.
”Kak Galih!” Suara seorang anak kecil. Suara yang sangat akrab di telingaku. Suara itu, suara Bayu!
”Bayu...? Kamu di mana?” Aku berseru sambil mengedar pandangan.
Tiba-tiba seberkas cahaya putih menyilaukan pandangan mataku. Cahaya itu begitu menyengat dan menusuk kornea mataku. Aku memejamkan mata untuk mengurangi efek rasa sakit, dan membukanya pelan-pelan setelah efek sakitnya berkurang.