AKU terbangun dengan pegal pada leher juga punggung. Sinar matahari yang masuk dari celah-celah tirai jendela membuat mataku menyipit. Suara telepon terus saja menjerit nyaring seolah enggan menungguku yang tengah mengumpulkan kesadaran. Aku bangkit dari kursi dengan kesal dan meraih telepon yang kuletakkan di atas nakas di samping dipan.
Suara berbisik dari Natalie membuatku melongok jam dinding yang ada di meja kerja. Aku terperanjat dan langsung mematikan ponsel saat gadis 25 tahun yang sudah menjadi asistenku selama dua tahun itu masih mengoceh dengan suara pelan seolah takut si bos atau yang biasa kusebut anjing herder mendengar. Aku yakin, di kantor Natalie sedang menungguku dengan gelisah sementara si anjing herder duduk dengan muka garang sambil menggeram.
Sial. Gara-gara menelusuri berita pencabulan santriwati di Joyogiri yang terjadi 2019 s.d 2022 silam membuatku tanpa sadar bergadang hingga jam empat pagi. Merasa masih punya waktu barang dua jam, aku merebahkan kepala di atas meja kerja. Bermaksud hanya tidur lima belas sampai tiga puluh menit, malah kebablasan hingga jam sembilan pagi.
Sambail menyiapkan diri ke kantor, pikiranku masih terpaku pada hubungan antara misteri kematian Marlina dan naskah yang dia kirim kepadaku. Sebelum tidur, aku sempat memeriksa bundel naskah yang terdiri dari beberapa bab itu. Marlina telah menyusunnya dengan rapi. Aku sempat membaca beberapa paragraf. Dia menuliskan hasil wawancara itu seperti sebuah novel. Tulisannya mengalir lancar. Akan tetapi, mataku yang berat membuatku tak sanggup melanjutkan.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku buru-buru memesan ojek online. Sambil menunggu ojek pesanan datang, kusempatkan membuat kopi dan sedikit memulas bedak dan lipstik. Aku tidak mau si anjing herder menggonggongi penampilanku yang menurutnya sangat tidak perempuan dan cenderung berantakan. Si anjing herder memang tak lelah mengeluhkan hal-hal yang tidak penting seperti itu. Dan kali ini, aku mau menutup celah itu karena keterlambatanku pasti akan menjadi bahan olok-olokan dan aku tidak mau dia tertawa puas karena memiliki banyak bahan untuk menertawakanku.
Lima menit menunggu, suara klakson ojek pesanan terdengar. Aku terburu-buru menyambar ransel dan kopi di meja makan. Tas ransel itu sedikit lebih berat karena aku telah memasukkan bundel naskah Marlina ke dalamnya. Aku tidak mau mengabaikannya lagi seperti tahun lalu.
Persis dugaanku, meeting sudah dimulai dan si anjing herder memimpin dengan muka masam. Setelah mengetuk pintu kaca, aku masuk dengan wajah bersalah. Aku harus menahan napas, melewati kursi demi kursi menuju kursi kosong tepat di sisi kanan tempat duduk si anjing herder yang ada di ujung meja.
“Lipstikmu bagus, pantas hari ini kau terlambat.”
Olokan pertama, gerutuku. Aku tak menanggapinya seperti biasa. Aku hanya tersenyum tipis, lalu berpura-pura mencermati tampilan presentasinya. Melihatku tidak merespon olokannya, dia melanjutkan presentasinya. Sejujurnya, kurva penjualan, strategi marketing untuk menaikkan jumlah pelanggan, sama sekali tidak masuk dalam kepalaku. Mataku memang tertuju pada bahan presentasi Willy, tetapi kepalaku sibuk sendiri menelusuri sambungan cerita yang hilang antara Kisah Mas Safiy—pelaku pencabulan santriwati di Joyogiri dengan kepergian Marlina yang mendadak.
Usai meeting aku langsung masuk ke ruanganku. Natalie mengikuti sambil melaporkan beberapa hal. Tidak ada hal mendesak yang mesti kuselesaikan. Meeting bersama Willy pun lebih banyak ditujukan untuk perbaikan bagian pemasaran dan periklanan. Hari ini aku hanya perlu memeriksa beberapa artikel yang masuk untuk di seleksi sebagai bahan terbitan minggu depan.
“Apa kamu tahu ada berita kematian seorang perempuan dalam toren air?” tanyaku pada Natalie. Dia tampak terkejut, mengerutkan kening.
“Apa itu akan jadi topik terbitan kita minggu depan?” tanyanya ragu.
Aku menggeleng sambil mengibaskan tangan, pertanda dia boleh pergi dan aku ingin sendirian. Dia keluar dari ruanganku dengan muka bingung.
Sambil menunggu laptop menyala, aku membuka kembali amplop berisi surat Marlina. Kucermati satu per satu kalimat penutupnya. Apakah saat menulis surat itu dia sudah tahu kalau nyawanya sedang terancam? Mengapa dia tidak langsung menyerahkannya kepadaku, bukankah jarak Joyogiri dan Surabaya kurang lebih 3-4 jam saja? Apalagi ternyata dia ditemukan meninggal di Surabaya. Itu artinya dia pergi Surabaya, bahkan mungkin tinggal di kota yang sama denganku selama beberapa waktu.
Hari ini aku ingin menelusuri berita kematian Marlina. Meski banyak situs online yang menayangkan beritanya, aku belum menemukan kejelasan alasan kematian kawan SMPku itu. Ada satu berita yang sempat menyebut bahwa Marlina adalah pengedar narkoba yang bersembunyi dari pengejaran polisi. Aku mengerutkan kening membacanya.
Meski apa saja bisa terjadi selama satu tahun sejak Marlina menghilang, tetapi rasanya tidak mungkin perempuan yang sering terlibat sebagai volunter dalam kegiatan pemulihan lingkungan dan acara sosial di berbagai pelosok Indonesia menjadi pengedar barang haram itu. Aku mengenal Marlina sejak kami sama-sama duduk di bangku SMP di Joyogiri.
Pertama kali melihatnya, aku sangat terkesan. Marlina memiliki kaki yang panjang dan bisa dikatakan paling tinggi di antara teman-teman lainnya. Rambutnya yang ikal sebahu turut membuatnya menjadi sorotan. Marlina sempat dijuluki jerapah. Kami duduk sebangku bukan atas pilihan kami sendiri. Guru kelas mengacak dan menunjuk siapa untuk duduk di mana. Setelah tahu bahwa Marlina sangat pandai matematika, aku semakin terkesan. Kupikir dia pasti dapat membantuku memahami pelajaran sulit yang kubenci sejak sekolah dasar itu. Dan itu benar, kami tak pernah berpisah sejak itu. Kami selalu satu kelas sejak kelas 1 hingga kelas 3. Matematika tak lagi jadi momok bagiku dan kepandaian Marlina berbahasa Inggris meningkat berkatku. Kami adalah teman yang saling mendukung.
Aku mengacak-acak rambutku teringat pada pertemananku dengan Marlina puluhan tahun lalu. Dia bukan anak orang berada, tetapi juga bukan dari keluarga melarat atau broken home. Masa remajanya di lewati dengan baik dengan prestasi akademik yang cukup baik. Meski tak menonjol menjadi bintang kelas, aku dan Marlina tak kesulitan masuk SMA favorit di kota kami. Meski sayangnya, setelah beberapa bulan dia pindah ke luar kota mengikuti ayahnya yang mutasi kerja. Sulit rasanya percaya bahwa Marlina mati karena lari dari kejaran petugas saat akan ditangkap sebagai pengedar narkoba.
Aku melirik pada bundel naskah yang kuletakkan di samping laptop. Layar laptopku masih menyala dengan tampilan wajah Marlina. Untungnya bukan tampilan foto mayatnya yang dikabarkan ditemukan dalam keadaan membusuk. Aku bergidik ngeri. Betapa malangnya nasib teman SMP-ku itu. Aku memejamkan mata, mengirimkan seutas doa untuk ketenangan arwahnya.