SETELAH seharian disibukkan dengan interogasi dari dua orang polisi dan interogasi dari Willy, aku pulang ke rumah dalam keadaan lelah. Bundel naskah milik Marlina belum sempat kusentuh lagi. Aku kembali memasukkannya ke dalam tas ransel dan berniat membukanya di rumah.
Tiba di rumah, Nenek Ambar memberitahuku bahwa ada dua pengendara motor yang sejak sore hilir mudik di depan rumah kami. Nenek Ambar berusia 70 tahun dan tinggal sendirian. Setiap sore, dia biasa duduk di teras menikmati secangkir teh dan kudapan hangat. Suaminya telah meninggal sebelum aku pindah ke rumah yang kubeli tepat di samping kanan rumahnya. Aku tak sempat mengenal suaminya, tetapi dari cerita Nenek Ambar aku tahu suaminya adalah pensiunan tentara.
“Kita harus hati-hati. Jangan lagi meletakkan jemuran pakaian dalam di teras atau halaman depan rumah. Siapa tahu mereka itu pencuri pakaian dalam, kan?” ucapnya dengan dahi berkerut dan bibir mengerucut.
“Tapi tenang saja, nenek sudah bilang sama Pak RT.” Lanjutnya dengan penuh keyakinan.
Kami berbicara dari balik tembok pagar masing-masing. Tembok garasi rumahku menyatu dengan teras rumah Nenek Ambar. Tembok setinggi kurang lebih satu meter itu membuat kami leluasa ngobrol tanpa perlu datang ke rumah masing-masing. Setelah mendengar ceritanya, aku berpamitan untuk mandi dan istirahat. Aku tak ingin lagi menunda untuk membaca bundel naskah dari Marlina.
Setelah badanku diguyur air dan perutku sudah terisi, aku duduk dengan tenang di depan bundel naskah berjudul “Tanda Lahir” itu. Saat tanganku membuka halaman pada bab pertama bundelan naskah itu, seketika oksigen dalam ruangan terasa menipis. Ada aroma melati yang tercium samar, beriringan dengan aroma kenanga dan irisan pandan. Tiba-tiba tengkukku meremang. Kulirik jam digital di atas meja, masih pukul sembilan malam.
Aku menutup kembali bundel naskah itu dan beranjak menuju jendela. Mungkin angin malam meniupkan udara dingin dari luar. Aku mernyalakan penyejuk udara dan mengaturnya pada suhu ruang, sekadar agar udara di kamar tidak pengap.
Pada halaman pertama naskah tertulis kalimat dalam huruf cetak tebal Naskah 1 : Wawancara Dengan Asma’ Masruroh. Dahiku mengernyit, neuoron dalam otakku berlompatan mengirimkan informasi. Aku merasa mengenal nama itu. Tak ingin mati penasaran, aku mencoba mengetik nama Asma’ Masruroh dalam mesin pencarian di laman internet.
Berita-berita bermunculan, tentang seorang perempuan yang pernah mendakwa suaminya sendiri sebagai pelaku pelecehan seksual. Rupanya Asma’ Masruroh adalah nama lengkap dari Ningmas Ruroh, perempuan yang sempat dihujat masyarakat Joyogiri karena dianggap mencoreng maruah pesantren milik suaminya.
Kualihkan pandanganku dari layar laptop. Kubuka kembali lembar demi lembar naskah yang ada di atas meja. Tanganku bergerak cepat bersama putaran memori di kepalaku yang mencoba mengingat kasus yang berkaitan dengan Ningmas Ruroh beberapa tahun lalu.
Aku membeku lembar demi lembar tanpa membacanya. Aku ingin memindai, ada berapa naskah hasil wawancara yang sudah Marlina tuliskan. Setelah beberapa lembar, kutemukan lagi tulisan bercetak tebal dengan kalimat Naskah 2: Wawancara Dengan Labiba Hana. Labiba Hana adalah istri pertama Mas Safiy atau madu dari Ningmas Ruroh. Dahiku berkerut, apakah kasus pemasungan ada hubungannya dengan kasus pelecehan seksual sepuluh tahun lalu? Bukankah kasus itu sudah selesai dan Mas Safiy sudah dijatuhi hukuman selama tujuh tahun penjara? Bukankah itu artinya kasus itu sudah selesai? Apa lagi yang tersisa?
Aku ingat bagaimana dahulu polisi sempat kesulitan meminta keterangan dari Mas Safiy dan keluarga pesantren. Kasus itu bergulir semakin besar hingga memecah masyarakat menjadi dua kubu : satu kubu yang mendorong kasus segera diusut tuntas dan satu kubu yang meminta polisi menghentikan fitnah yang dilontarkan untuk menjatuhkan kredibilitas pesantren. Bahkan dikabarkan ada ratusan orang simpatisan yang menghalang-halangi pemeriksaan yang hendak dilakukan polisi kepada pihak pesantren.
Simpatisan yang tidak sedikit itu berulang kali mengusir polisi dan memblokade jalan masuk menuju pesantren. Kabarnya, mereka adalah alumni-laumni Pondok Pesantren Jamaiyah yang tidak rela tempat mereka menimba ilmu diacak-acak oleh fitnah. Mereka berkeyakinan bahwa Mas Safiy tidak melakukan hal nista yang telah dituduhkan.
Dari sebuah laman berita aku bahkan pernah membaca bahwa pihak pesantren terkesan tak mau bekerja sama dan menutup-nutupi hal yang sebenarnya. Beredar dugaan bahwa pihak pesantren sebenarnya mengetahui hal tersebut tetapi enggan mengungkap kebenaran karena tidak mau maruah pesantren jatuh. Ada juga selentingan kabar yang beredar bahwa tuduhan itu hanya sebuah taktik politik untuk mendesak pemerintah mencabut izin pesantren yang muridnya telah berjumlah ribuan itu. Aroma persaingan antar pesantren terasa kental, ditambah lagi ada isu penjegalan karena Labiba Hana akan maju sebagai calon legislatif pada masa itu.
Semua kabar berita itu terdengar simpang siur hingga mengaburkan esensi peristiwa yang sesuangguhnya. Aku menarik napas panjang. Tanganku gemetar. Kulanjutkan membuka lembar demi lembar. Rupanya ada lima hasil wawancara dalam bundel naskah itu. Semua nara sumber Marlina adalah perempuan-perempuan yang ada di lingkaran Mas Safiy. Akan tetapi anehnya, dia sama sekali tidak mewawancarai korban pencabulan. Atau … ada naskah hasil wawancara yang belum Marlina kirimkan kepadaku?