SEDARI usiaku masih kanak-kanak, ibu sudah menanamkan pemahaman bahwa perempuan itu menanggung beban yang amat berat : jika aku pandai, akan banyak yang membenciku dan jika aku bodoh, akan banyak yang mencelaku, karena itu ibu selalu memintaku untuk menjadi perempuan yang biasa-biasa saja, berada di bagian belakang, tersembunyi, dan tak perlu menampakkan diri.
Ibu adalah rembosa mini. Menyemak di sudut taman, di antara pembatas dinding dan pagar, berdaun kecil, berbunga seperti melati tetapi tidak wangi. Ibu tidak membenci mawar, tidak pula menjauhi anggrek bulan. Dia hanya tidak mau putrinya terlalu menarik perhatian.
Perempuan desa yang menikah sejak usia belasan itu selalu mengajariku tata krama dan cara memuliakan pria. Aku harus merendahkan suara, menundukkan wajah, hingga membereskan kekacauan yang dibuat para pria di rumah.
Di rumah kami ada tiga sosok pria : bapak serta dua orang kakak yang usianya berjarak tujuh hingga sepuluh tahun dariku. Mereka selalu mendapat hal-hal terbaik : makanan yang hangat, kasur kapuk yang empuk, kesempatan yang luas untuk bersekolah serta hal-hal terbaik lain yang ada di rumah. Sebagai anak perempuan, aku akan mendapat sisa-sisa makanan, tidur di lantai di atas tikar pandan di depan kamar atau bergelung dengan tumpukan cucian di sungai.
Bapak adalah si raja hutan. Surainya yang mekar, aumannya yang kencang serta cakarnya yang tajam, selalu membuat tubuhku gemetar. Meski kerajaannya hanya sebatas pagar bambu yang mengelilingi rumah, ibu selalu meletakkan titah bapak di atas kepala dan meminta anak-anaknya patuh tanpa membantah.
Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku tidak mendapat perlakuan istimewa. Bapak seringkali lupa bahwa anaknya ada tiga. Bapak hanya membanggakan kedua kakakku, mengajak mereka membajak sawah, menggembala domba, hingga mengajari mereka menombak ikan-ikan sebesar paha di dasar sungai. Kedua kakakku kurang lebih sama, selalu menganggapku sebagai orang yang harus menyiapkan dan melayani kebutuhan mereka. Tugasku setiap hari adalah membantu ibu menyiapkan makanan, membereskan tempat tidur para pria, menimba air untuk mereka mandi hingga menelusupkan kepala dan memanjangkan tangan di bawah kandang untuk membersihkan tai-tai ayam.
Bapak hampir tidak pernah menoleh ke arahku apalagi mengajakku berbicara. Aku ingat, untuk pertama kalinya bapak menghampiriku pada hari Rebo wekasan atau Rabu pungkasan saat usiaku sembilan tahun. Ibu sedang menyiapkan banyak makanan untuk selamatan, sedangkan aku masih bergulat dengan tai-tai di kandang.
Pada hari Rebo wekasan, ibu akan menyusun makanan-makanan membentuk gunungan. Kata Ibu, keberuntungan setahun ke depan akan ditentukan oleh baik tidaknya makanan yang dipersembahkan melalui tumpengan. Aku selalu gembira menyambut acara pengusiran bala’ itu, sambil berharap tahun depan nasib sialku sebagai perempuan bisa berubah.
Hari itu ibu memintaku memilih tiga ekor ayam yang akan dipanggang sebagai lauk pada gunungan. Aku senang, terbayang aroma ayam panggang yang akan menguar. Ibu akan membiarkanku menyesapi aromanya hingga kenyang. Hanya mencium bukan mencicipinya. Kata Ibu, daging ayam hanya untuk para pria.
Saat aku tengah mengejar seekor ayam, bapak yang baru pulang dari sabung ayam rabuan datang tergopoh-gopoh menghampiriku di kandang. Wajahnya terlihat sumringah. Dia menarik tangan dan memintaku duduk di atas lincak sementara dia berdiri di hadapanku sambil tersenyum lebar. Dia bahkan tidak peduli pada telapak tanganku yang hitam dan tubuhku yang beraroma tai ayam.
Aku menengadah menatap bapak yang tingginya hampir dua kali tinggiku saat itu. Jarak kami hanya tiga jengkal, jarak paling dekat yang pernah kurasakan. Saat bapak membungkukkan badan untuk berbicara denganku, aku mencium aroma tembakau yang menguar dari mulutnya. Sisa-sisa sirih dan pinang bahkan masih menempel pada bibirnya yang kehitaman. Aku juga dapat mengamati garis-garis di sudut mata dan bibirnya serta mengamati hidung besarnya yang dia wariskan kepadaku.
“Kamu harus mondok,” katanya. Matanya bersinar seperti saat nomor undian yang dipasangnya tembus empat angka. Aku tidak menjawab, tidak tahu apa maksud perkataan bapak waktu itu.
“Kamu harus mondok, ya, Nduk.” Dia mengulangi kalimatnya sambil mengusap rambutku yang lembab oleh keringat. Pelan sekali. Aku bahkan masih dapat merasakan sentuhan pertama itu hingga puluhan tahun sesudahnya. Untuk pertama kalinya pula bapak memandang dan mengusap kepalaku sambil memanggil dengan sebutan Nduk. Biasanya dia hanya memanggilku dengan sebutan hei, kau atau e saja. Panggilan Nduk membuat hatiku hangat, yang serta merta membuat kepalaku mengangguk sigap. Aku merasa senang karena ternyata bapak masih mengingatku sebagai anaknya.
Kedua kakakku sudah lulus sekolah dasar dan sedang belajar mengurus sawah, sedangkan aku bisa dipastikan tidak akan pernah lulus—ibu sudah menyampaikan kepadaku bahwa anak perempuan cukup selesai di kelas tiga atau empat saja, sekadar bisa baca tulis cukup sudah, perempuan tidak perlu ijazah. Seperti anak perempuan lain di desaku, belum ada seorang pun anak dara yang bisa lulus hingga mendapat ijazah.
Perintah mondok dari bapak menjadi titik terang bagi lorong panjang yang gelap gulita. Saat aku menganggukkan kepala, kupikir kesempatan untuk sekolah terbuka luas. Aku bisa melanjutkan pendidikan untuk melampaui atau setidaknya menyamai kedua kakak lelakiku. Aku sangat gembira hingga lupa bertanya ke mana bapak akan mengirimku.
Malam hari dari balik pintu dapur, kudengar ibu menangis. Rupanya bapak berencana mengirimku ke tempat yang teramat asing, di sebuah pulau lain di timur Jawa. Meski awalnya aku setuju karena terbuai sebutan Nduk dan belaian bapak di kepala, mendengar jauhnya jarak pondok dari rumah, aku menangis membayangkan harus jauh dari ibu. Kudengar ibu berusaha membujuk bapak untuk mengurungkan niatnya.
“Ndak, pokoknya Ruroh harus tetap mondok. Titik. Aku sudah punya rencana besar untuk dia. Langkah pertama dari rencana itu adalah harus masuk pondok pesantren.”
Kata titik adalah ketok palu. Ibu apalagi aku tentu tidak akan bisa lagi membuatnya menjadi koma.
Bapak bukan orang yang dekat dengan agama. Seminggu sekali bapak masih pergi menyabung ayam atau memasang undian SDSB. Kami menduga-duga, mungkin bapak mendapat mimpi aneh atau firasat buruk sehingga buru-buru ingin bertaubat dan langkah pertama pertaubatannya adalah dengan memasukkanku ke tempat orang-orang belajar ilmu agama.
Jika merunut dari keluarga besar bapak dan ibu, tidak ada seorang pun yang akrab dengan dunia pesantren. Kakek dari ibu adalah seorang nelayan yang mempertaruhkan nyawanya di laut demi bisa membeli seliter beras dan masih akrab dengan klenik dan mitos, sedangkan kakek dari bapak adalah pemanjat kelapa yang handal yang menikah dengan anak pemilik kebun yang lebih menghargai sebuah kelapa dan seliter beras dibandingkan meluangkan waktu untuk mengaji. Keduanya sama-sama tidak mengenal surau apalagi pondok pesantren.
“Malah bagus, to. Pesantren itu tempat orang mengaji, nyari ilmu agama. Mungkin dengan bekal ilmu yang cukup, nanti kamu bisa mendoakan bapak dan ibu, supaya masuk surga.” Meski masih merasa heran, ibu membujukku untuk menerima keputusan bapak.
“Kenapa ibu dan bapak membutuhkan doaku untuk masuk surga? Bukankah kata ibu, bapak bisa melakukan apa saja yang diinginkannya?” tanyaku dengan dahi berkerut. Aku ingat, pertanyaan itu tidak dijawab oleh ibu. Dia memilih memalingkan wajah kemudian beranjak meninggalkanku untuk mulai menyiapkan pakaian yang akan kubawa ke pesantren.
Tujuh hari setelah titah bapak, aku diantar ke sebuah pulau yang udaranya membuat keringat di dahi dan punggung bercucuran. Sepanjang jalan, debu-debu beterbangan menyamarkan pandangan, ombak bergulung mencium bibir pantai, cemara udang berjajar meliuk-liukkan batangnya, tanah berwarna cokelat kemerahan menghampar. Kata ibu, itu adalah pulau garam.
Saat melepasku pulang, tak kulihat selarik kesedihan di dalam tatapan mata bapak. Berbeda dengan ibu yang pipi dan hidungnya memerah. Sambil sesenggukan, ibu memintaku kuat dan bertahan. Senyum lebar bapak, seperti penegasan bahwa dia memang dengan sengaja membuangku dari rumah.
Meski hatiku masih memendam perasaan kecewa menjadi anak buangan, ada beberapa hal yang harus kusyukuri : aku tidak perlu lagi melongokkan kepala ke bawah kandang untuk menciduk tai ayam, aku tidak perlu lagi menjadi babu bagi kedua kakakku, dan aku tidak perlu lagi mendengarkan omongan orang tentang tanda lahir di dadaku. Di pesantren tugasku hanya sekolah pagi, pergi mengaji, serta mematuhi perintah Kyai. Hari-hariku terasa lebih ringan.
Selama aku di pesantren, bapak dan ibu nyaris tidak pernah berkunjung. Kunjungan mereka yang pertama sekaligus menjadi yang terakhir, adalah saat hari kelulusanku dari tsanawiyah. Mendengar keduanya datang aku berlari sekuat tenaga untuk menyambut mereka, dan begitu bersemangat untuk mengabarkan kepada keduanya tentang nilai-nilai sekolah dan rencanaku melanjutkan ke tingkat aliyah, meski akhirnya harapan itu musnah dengan perkataan bapak yang diucapkannya dengan senyum yang lebar.
“Untuk apa? Sebentar lagi kamu akan menikah. Dan calon suamimu tidak memerlukan ijazah-ijazah itu.”
Tanpa merasa perlu bertanya kepadaku, bapak telah membuat keputusan untuk membawaku pulang. Dalam pandanganku, tiba-tiba saja senyum bapak berubah menjadi seringai. Surainya yang panjang terlihat mengembang, gigi taringnya yang tajam tampak berkilauan, dan cakarnya yang runcing terlihat menakutkan. Bapak mengerikan. Aku memeluk lengan ibu sambil terus menggelengkan kepala. Seperti biasa, ibu yang selalu tunduk dan pasrah pada setiap perkataan bapak berusaha membujukku. Perempuan yang kelihatan semakin ringkih itu tidak akan berani melawan perintah bapak, seorang kepala keluarga yang oleh ibu kata-katanya dianggap sabda, dijunjung di atas kepala, disucikan seperti ayat-ayat ilahiyah.
Aku gusar, mengumpulkan keberanian untuk menolak, membujuk ibu untuk menolong, tetapi tetap saja tidak bisa merubah apapun. Bapak telah mengetuk palu, memilih seorang lelaki yang berusia 19 tahun lebih tua, yang telah beristri pula, dan mengabaikan permohonanku untuk melanjutkan sekolah. Kekecewaan sebagai anak buangan kembali datang. Bapak tidak pernah benar-benar menyayangiku.
Aku baru berusia enam belas, baru mendapatkan menstruasi pertama beberapa bulan sebelum lulus tsanawiyah, baru belajar menggunakan kutang sebab buah dadaku belum bulat benar. Di antara kawan-kawan sepantaran, aku dianggap telat memasuki masa akil baligh. Bayangan menjadi perempuan terpelajar menguap seketika, seperti kabut yang disingkap matahari.
Kesedihanku keluar dari pesantren melebihi kesedihan saat harus meninggalkan rumah. Aku tidak henti bertanya, mengapa bapak tega menjodohkan anaknya dengan bandot tua yang menikah hanya untuk menuruti nafsunya saja. Aku menggerutu. Sempat terbersit untuk lari pergi dan membantah perintah Bapak, tetapi cengkeraman tangan dan tatapan matanya yang tajam membuat nyaliku mengerut, seperti balon yang tiba-tiba saja gembos. Belum lagi tangisan seorang perempuan kurus yang melahirkanku belasan tahun lalu itu, membuat saraf keberanianku seperti dimatikan.
Aku menempuh perjalanan pulang dengan kemelut kekecewaan. Perjalanan sepuluh jam seakan mengantarku ke gerbang kegelapan. Kendaraan yang ditumpangi terasa bagai keranda yang membawa jenazahku ke liang lahat. Lubang sedalam dua meter terasa sudah menungguku. Aku merasa hidupku sudah selesai.
Saat tiba di kampung, kulihat terop-terop sudah didirikan di halaman rumah, menjulang dan menggurita seperti sebuah perangkap besar yang siap menjerat mangsanya. Aroma masakan yang sudah menguar seperti wangi dupa yang menebarkan mantra mematikan. Aku limbung, benar-benar dibuat tidak punya pilihan. Aku mengurung diri di kamar, membatasi pandangan dan pendengaran. Sama sekali tidak mau tahu dengan proses persiapan pernikahanku sendiri.
Selain wajah dan identitas calon suami yang masih misterius, ada satu hal yang terasa janggal. Mahar yang ditetapkan Bapak terlalu besar dan tidak wajar. Dua hektar kebun kelapa telah disepakati sebagai maskawin, membuatku segera berlari ke depan cermin, meraba wajahku, mengamati diriku, menelisik kelebihanku, hingga berkesimpulan mahar itu terlalu banyak untuk seorang gadis biasa yang nyaris tidak memiliki keistimewaan apa-apa.
“Suamimu itu orang besar. Pilihan bapak tidak akan keliru. Kita akan memanen buah kesabaran kita selama ini,” ucap bapak dengan mata berbinar. Mungkin itu adalah sorot bahagia atas keberhasilannya menjual anak gadisnya. Akan tetapi, siapa yang merelakan dua hektar tanahnya untuk perempuan desa yang sejak kecil selalu menjadi anak terbuang?
Aku adalah bunga kamboja dengan semu kekuningan, yang ditanam di pojok-pojok tanah pemakaman, yang keberadaannya dianggap simbol kegelapan, yang aromanya disebut sebagai pembawa kabar kematian. Tidak ada seorang pun yang rela pekarangannya ditumbuhi kamboja kuburan. Teman sekolahku selalu bergidik ngeri saat tahu ada tanda lahir besar yang menggurita dari dada hingga pangkal leher, yang mereka anggap menjijikkan, memalukan dan patut dijauhi. Jika tiba-tiba ada seseorang yang dengan kesadarannya rela tamannya ditumbuhi kamboja hingga bersedia membayar dengan hektaran tanah, bagiku itu adalah sebuah keanehan.
Kata bapak, calon suamiku adalah putra bungsu seorang pemilik pesantren di Kota Joyogiri yang bersebelahan dengan kota tempat tinggalku. Bapak dan calon suamiku pernah bertemu di pasar kecamatan tujuh tahun lalu. Mungkin dari pertemuan tak sengaja itu lahir sebuah ide untuk memasukkanku ke pondok pesantren sebagai bagian dari rencana besar bapak menjualku. Saat kudengar bapak mulai belajar ikut pengajian meski sesekali tetap menyabung ayam, aku semakin yakin bahwa bapak sudah merencanakan pernikahan itu sejak hari Rebo wekasan saat pertama kalinya dia membelai kepalaku.
Saat tanganku mulai dihias daun-daun pacar yang ditumbuk oleh dua orang perempuan yang sengaja ibu undang, aku belum mengetahui rupa atau nama calon suamiku. Aku enggan bertanya, memilih pasrah atau tepatnya menyerah. Sejak kecil, ibu selalu mengajariku untuk tunduk pada semua keputusan bapak, membuatku nyaris tidak memiliki sisa keberanian untuk menolaknya.
“Perempuan itu tempatnya bukan di sebelah laki-laki, tapi di belakang, untuk mendukung. Laki-laki bisa melakukan semuanya tanpa kita, kita hanya perlu menemaninya. Sementara perempuan, tidak akan bisa berbuat banyak tanpa mereka, karena itulah kita semestinya tidak boleh membantah.”
Ibu menggenggam tanganku dengan tangan kirinya dan mengusap air mataku dengan tangan kanannya. Dari mulutnya mengalir kalimat-kalimat untuk membuatku tenang. Kalimat yang bertahun-tahun sesudahnya tetap hangat dalam ingatan, terus menyala di dalam dada. Kukira nasihat-nasihat itu akan menjadi suluh, tetapi ternyata membakar segala dan membuat pandanganku gulita. Awalnya aku menganggap nasihat ibu sebagai sesuatu yang wajib dipatuhi, tetapi lambat laun aku menyadari nasihat itu lebih tepat ditujukan untuknya sendiri. Mungkin ibu sedang menuangkan luka hatinya dan mencoba mengabarkan kepadaku tentang dukanya dalam berumah tangga.
Proses akad dilakukan tanpa kehadiran mempelai perempuan. Aku tetap berada di dalam bilik ditemani ibu dan beberapa keluarga lainnya. Hanya kaum lelaki, wali nikah dan mempelai pria yang diperbolehkan duduk bersama-sama saat proses akad nikah. Aku menunggu dengan jantung berdegup kencang akibat kemarahan yang tertahan. Aku tidak mau melepaskan genggaman tangan ibu. Saat mendengar suara lelaki melafalkan akad, hatiku terasa disiram air yang sejuk dan menenangkan. Aliran darahku mengencang saat terdengar seruan kata sah dari luar. Aku semakin bertanya-tanya, seperti apa rupa lelaki yang tangannya sudah berjabat erat dengan bapak itu.
Setelah proses akad selesai, ibu menuntunku ke luar kamar. Saat itulah, untuk pertama kalinya aku melihat sosok lelaki dengan tubuhnya yang berdiri tegak menjulang, wajahnya yang bulat bersinar seperti rembulan, senyumnya yang berkembang, menyambutku. Ibu menuntunku yang kesulitan berjalan akibat kain jarik yang kesempitan, menuju ke arahnya yang tampak mengulurkan tangan. Ibu menyenggol lenganku, memberi tahu bahwa aku harus mencium tangan lelaki yang sudah resmi menjadi suamiku itu. Ragu, kusambut tangan lebar, lembut dan sewarna langsat itu. Saat cuping hidung menyentuh punggung tangannya, tercium aroma mawar segar yang membuat aliran darahku semakin deras mendesak jantung. Aku berharap, gemuruh suara hadrah yang ditabuh dapat menyembunyikan riuh suara degupan di dalam dada.
Laki-laki tinggi besar berhidung lengkung itu bernama Mas Safiy. Wajahnya kharismatik dengan suara yang lembut dan tegas. Tidak ada perut yang buncit, tidak ada rambut dua warna, tidak ada kerut pada wajah. Dia bukan bandot tua. Lelaki berkulit langsat itu memiliki komposisi wajah yang harmonis, bentuk badan yang memadai, status sosial yang mapan, yang tentu membuatnya mudah menunjuk perempuan mana saja yang ingin dinikahinya. Gelar “putra mahkota” yang disandang dari pesantren peninggalan bapaknya membuatnya mudah memenuhi keinginannya itu.
Malam pertama kulewati dengan kepala dipenuhi tanda tanya. Mengapa lelaki seperti Mas Safiy mau menikahi anak desa yang belum lulus Aliyah? Apalagi jika mengingat besarnya mahar yang harus diberikan. Maskawin yang dalam ajaran agama menjadi hak perempuan, tetapi dalam pernikahanku menjadi milik bapak. Ah, Bapak. Mungkin setelah ijab kabul itu dilaksanakan, dia sudah bisa tidur dengan nyenyak, memeluk mimpi-mimpinya memiliki dua hektar tanah, menjadi juragan dari ratusan atau mungkin ribuan pohon kelapa. Sawah sepetak yang dimilikinya bukan lagi tumpuan kehidupan utama. Tiba-tiba saja aku merasa seperti korban jual beli. Namun, apa yang diharapkan Mas Safiy dari bapak atau bahkan dariku?
Keruwetan dalam kepala berganti dentuman dalam dada, ketika Mas Safiy bergerak layaknya anak pramuka yang sedang menjelajah. Dia menuntunku dengan sabar, mengajakku menyusuri tepi sungai, melewati lembah, mendaki gunung hingga masuk jauh ke dalam hutan. Dia membuat api unggun, menyalakan api yang menjilat-jilat, menyebarkan hangat ke seluruh badan, meredakan kecamuk dalam kepala, lalu menyisakan lenguhan napas kami yang panjang. Aku tergolek tak berdaya, otot-ototku kehilangan tenaga. Kesadaranku terasa dilambungkan ke negeri antah berantah.
Seperti air hujan yang teratur mengguyur, tanahku menjadi gembur dan siap di tandur. Sebagai pengantin baru, Mas Safiy rajin menyemai benih-benih pada sepetak tanah yang dia sebut tanah surga. Namun, keraguan dan kebingungan yang berkelindan dalam kepalaku membuat benih-benih itu enggan berkecambah. Aku terlalu takut dan masih dihantui tanya. Aku merasa belum siap dan belum sepenuhnya bisa menerima. Dengan kesabarannya, Mas Safiy berusaha memahami dan tetap giat menyemai sambil menungguku berubah pikiran.
Suamiku adalah sosok pria yang lemah lembut. Tidak hanya malam itu, malam-malam selanjutnya pun sama. Selama lima tahun pernikahan kami, dia sama sekali tidak pernah berkata atau bersikap kasar kepadaku. Mas Safiy menjadi satu-satunya orang yang bersikap dan berlaku baik kepadaku. Meski tetap memeluk berbagai pertanyaan dalam kepala, perlahan aku mulai bisa menerima takdirku menikah di usia muda.
Mas Safiy adalah pangeran berkuda putih yang datang untuk menyelamatkan seorang putri yang mendapat kutukan, yang diasingkan dalam kastil di tengah hutan, yang dikelilingi parit-parit berisi naga yang mengerikan. Dia membebaskanku dengan pedangnya yang panjang dan perkasa. Bukan hanya kehidupanku yang berubah, kehidupan bapak dan ibu juga turut mendapat berkah. Kondisi ekonomi keduanya menanjak naik. Pohon-pohon kelapa tidak henti memberi buah, tangkai-tangkai padi terisi bulir yang padat dan gendut. Kata bapak, pernikahanku benar-benar memberi keluarga kami keberuntungan.
Selama lima tahun, aku dan Mas Safiy nyaris tak pernah berkonflik. Biduk pernikahan kami mengarungi laut yang tenang dengan kilau matahari yang memantul-mantul di permukaannya yang licin seperti cermin. Satu-satunya hal yang sering kali menjadi ganjalan dalam pernikahanku dengan Mas Safiy adalah keberadaan Labiba Hana, penguasa rumah utama, perempuan teristimewa. Seperti apa pun aku berusaha, tahta tertinggi itu sudah ditempati oleh perempuan lain yang hadir sepuluh tahun sebelumnya.
Ningmas Hana adalah anggrek bulan dengan kelopaknya yang putih keunguan. Dia butuh tempat khusus, perawatan khusus, pupuk khusus, dan yang pasti tempatnya selalu dipisahkan dari bunga-bunga lainnya. Mas Safiy adalah pemilik taman yang baik. Dia terampil menyiram dan merawat si anggrek bulan. Dalam sebuah taman, Ningmas Hana adalah pusat perhatian.
Kedua orang tuanya adalah sahabat dekat Kyai Rifat Maksum, orang tua Mas Safiy. Persahabatan para orang tua melahirkan kesepakatan untuk menjodohkan anak-anak mereka. Dengan maksud menjaga kemurnian darah trah orang-orang soleh, keduanya menikah. Ningmas Hana memiliki segala yang aku tidak punya : rumah utama, seorang putra, hingga kedudukan istimewa di lingkungan pesantren.
Jika menilik pada anggrek bulan, tentu kehadiran kamboja tidak berarti apa-apa. Aku bahkan akan dianggap sebagai perusak pemandangan. Bagaimana mungkin bunga kuburan akan disandingkan dengan ratu taman? Aku semakin tidak mengerti, apa yang membuat Mas Safiy menikahiku padahal Ningmas Hana terlihat sangat sempurna. Perempuan matang, tenang, berpendidikan, dan penuh kebijaksanaan. Kami tak bisa diperbandingkan. Jangankan sarjana, aku bahkan belum tuntas menyelesaikan studiku di tingkat Aliyah. Aku hanya lulusan tsanawiyah, terlalu muda, dan dari keluarga kampung yang sederhana.
Cermin selalu menjadi temanku berkeluh kesah, meraba-raba apa yang sebenarnya Mas Safiy lihat dariku. Cermin memantulkan apa-apa yang melekat kepadaku tanpa berdusta : bentuk wajah yang bulat, dahi yang sedikit lebar, kelopak mata yang tipis nyaris tidak ada, hidung yang bulat dan besar serta bibir yang segaris. Di rumah, di sekolah, di pesantren aku tidak pernah diperhitungkan, tidak pernah menonjol apalagi menjadi pusat perhatian.
“Apa, sih, Mas, yang bikin sampean itu mau menikahiku?” tanyaku suatu kali.