DUA orang polisi datang lagi ke kantorku. Orang yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama. Kedatangan mereka mulai menarik perhatian dan menimbulkan desas-desus dan tentu saja menguragi produktivitasku. Kali ini aku memohon diri kepada Willy untuk menemui mereka di ruang rapat. Aku tidak mau membuat Willy membuang waktu menemaniku menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dua orang petugas yang datang.
Aku tidak tahu apakah ada perkembangan baru pada kasus kematian Marlina hingga mereka merasa perlu melakukan klarifikasi kembali kepadaku. Pertanyaan yang diajukan kurang lebih sama, ditambah beberapa pertanyaan baru yang tentu saja membuatku tercekat dan mengerutkan kening.
“Saya tidak pernah tahu bahwa Marlina pernah menikah. Dia tidak pernah bercerita terkait hal itu.”
Kedua polisi saling menoleh. Dahi keduanya berkerut.
“Anda yakin?” tanya polisi yang lebih kurus dengan suara penuh penekanan.
Aku mengangguk tegas. Aku memang tidak pernah tahu bahwa Marlina pernah menikah. Bahkan dia sama sekali tidak pernah menyinggung seseorang yang sedang dekat dengannya. Dalam beberapa kali obrolan, lebih banyak diisi cerita-cerita masa lalu dan selebihnya saling bercerita terkait pekerjaan atau kegiatan masing-masing.
Marlina sangat antusias jika bercerita terkait kegiatannya di pelosok timur Indonesia. Bagaimana dia harus mengajari anak-anak di sana, membujuk para orang tua agar mengizinkan anaknya ke sekolah, hingga harus berjalan jauh menimba air sekadar untuk mandi. Marlina menceritakan semua itu dengan mata berbinar. Sama sekali tak ada keluhan. Jika tiba-tiba saja kedua polisi itu memberiku informasi bahwa Marlina sudah menikah, tentu itu membuatku bingung. Sejak kapan Marlina menikah? Apakah baru-baru saja? Atau sudah sejak lama?
“Seingat saya begitu, Pak. Dia sama sekali tidak pernah bercerita terkait itu kepada saya. Bisa saja saya keliru, tapi saya sungguh tidak tahu dan tidak pernah menanyakan hal tersebut kepadanya.”
“Apakah Mbak Rianti mengenal orang ini?”
Polis berkulit lebih terang menyodorkan sebuah sketsa kepadaku. Aku mengamati gambar coretan pensil itu dengan seksama sambil menggali ingatan pada pemilik wajah yang tergambar di sana. Sketsa wajah itu menggambarkan seorang lelaki dengan garis dagu yang tegas dengan bekas cukuran janggut yang mulai tumbuh. Lelaki itu memiliki sorot mata yang tajam dengan hidung yang pendek dan lebar.
“Seingat saya, saya belum pernah melihatnya. Apakah ini ada kaitannya dengan kematian Marlina?” tanyaku.
“Kami tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Semua masih dalam tahap penyelidikan.”
Kedua polisi itu kemudian mengajukan beberapa pertanyaan lain. Aku berusaha menjawab sebisaku, tetapi selebihnya aku tidak tahu. Jika apa yang ditanyakan keduanya benar terkait dengan kehidupan Marlina, maka pertanyaan-pertanyaan dalam interogasi itu telah membuatku sadar bahwa aku sudah tidak lagi mengenal sahabat masa kecilku itu.
Setelah SMA dan Marlina pindah keluar kota, kami hanya berkomunikasi lewat surat. Semula surat Marlina datang satu minggu sekali dan aku mengirim balasan suratnya satu hari kemudian. Lambat laun surat balasanku telat dikirim begitu juga dengan kedatangan surat Marlina yang mulai melambat. Dari seminggu sekali kemudian menjadi satu bulan sekali, hingga surat itu semakin jarang datang. Kami mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing di sekolah. Dan seperti umumnya persahabatan masa kecil, lambat laun semua memudar seiring hadirnya orang-orang baru dan dunia baru.
Pada saat kuliah, kami bahkan sama sekali tak ada komunikasi lagi. Aku hanya tahu bahwa dia berkuliah di Jakarta di sebuah kampus swasta di bilangan Jakarta Selatan. Jarak kami semakin jauh. Saat itu akses komunikasi tidak mudah seperti saat ini. Kami baru dipertemukan lagi pada tahun 2005 melalui akun friendster. Komunikasi kami terbatas pada kolom chat media sosial itu.
Sejak itu kami mulai rajin berkomunikasi lagi, membahas masa lalu atau hal-hal yang kami kerjakan sehari-hari. Saat itu aku bekerja sebagai jurnalis di sebuah koran di Surabaya, sedangkan dia mengaku tinggal di Bali dan bekerja pada NGO yang berfokus menangani sampah di laut. Dia tampak menikmati kegiatannya sebagai aktivis lingkungan.
Setelah hanya berkomunikasi via telepon atau chat media sosial—setelah friendster mulai muncul facebook sekitar tahun 2008, pada pertengahan tahun 2009 tiba-tiba Marlina muncul di lobi kantorku. Rambut bergelombangnya masih sama seperti dahulu hanya kulitnya yang terlihat lebih gelap dari yang pernah kuingat. Sebagai sahabat masa kecil, kemunculannya tentu membuatku senang.
Dia menginap di rumahku dan aku mengajaknya keliling Surabaya untuk menikmati kuliner khas Surabaya. Marlina memiliki hobi baru, dia suka mencicipi masakan-masakan khas di daerah yang dikunjungi. Aku bahkan harus mengajukan cuti untuk menemaninya ke Madura demi memuaskan rasa ingin tahunya tentang kerang lorjuk yang katanya hanya ada di Madura.
Marlina masih tetap seperti dahulu, ceria, suka menolong, dan tentu saja memiliki selera humor yang baik. Kami menikmati waktu bersama kurang lebih tiga hari. Dia sama sekali tak mengeluhkan apapun dan terlihat sangat menikmati pekerjaannya sebagai aktivis lingkungan dan volunter kegiatan sosial.