KARENA PEREMPUAN itu datang seperti debu di bulan Agustus, aku mengabaikan berita mengejutkan tentangnya yang dibawa Hofifah, santriwati yang bertugas melayaniku. Perempuan yang telah lama mengusik mata itu sudah terusir dari pesantren—Ah, bagian ini sangat melegakanku. Tidak, tunggu. Aku bukan pendengki. Aku yakin aku bukan orang seperti itu, yang tersenyum saat orang lain susah. Aku hanya, apa, ya. Apa ada yang bisa mengerti bagaimana hatiku? Apakah hatiku memang busuk? Tidak mungkin. Abi dan Umma selalu mendidikku dengan keras. Memberiku banyak bekal suri tauladan dan nilai-nilai kebajikan. Labiba Hana seorang terpelajar, tetapi kali ini aku ingin tertawa. Ya, kabar yang dibawa Khofifah itu membuat ribuan kepak sayap kupu-kupu mendesak-desak rongga perutku.
Seharusnya bibirku tersenyum, tertarik lebar ke dekat telinga, tetapi ia malah diam. Bungkam. Hana, tersenyumlah. Hana, ayo tertawa. Aku mendengar suara dalam kepala bersaing mengungguli kalimat yang dilontarkan Khofifah yang masih bersimpuh di lantai. Ah, gadis itu. Lugu dan setia. Sudah hampir lima belas tahun dia bersamaku. Dia juga sudah memiliki suami dan seorang anak, tetapi tetap tunak melayaniku. Aku ingat bagaimana dia dahulu tiba di pesantren—Khofifah adalah salah satu santriwati di pesantren Abi, kami seusia dan karena itu lekas menjadi akrab. Bahkan hingga aku menikah, dia memilih ikut bersamaku untuk menemani dan melayaniku.
Khofifah masih terus bercerita. Wajahnya tampak murung, suaranya terdengar lirih—meski bagiku suaranya seperti air yang melewati pipa-pipa, mengalir tidak ada bekasnya. Pikiranku mengembara, sendirian, di antara harapan yang mungkin sudah lama terabaikan. Ya, selama ini aku telah banyak memendam kedukaanku sendirian. Ya, aku memang terlalu sombong untuk mengakui bahwa aku terluka. Ya, mau tidak mau harus kukatakan bahwa kehadiran Asma’ telah mencabut harapanku hingga ke akar-akarnya.
Kasihan, ya, Ningmas Ruroh, kalimat Khofifah menyentakku. Aku hanya menoleh pelan, tetapi tetap diam. Khofifah mengerutkan kening menatapku. Mungkin dia melihat tatapan mataku yang kosong, sehingga serta merta dia menggoyang-goyangkan kakiku hingga aku tergeragap. Iya, kasihan, sebuah kalimat yang aku ucapkan dengan suara lirih. Singkat. Seolah aku tidak memiliki stok kalimat yang bisa dikatakan—padahal mungkin situasinya saat itu sedang genting, menyedihkan atau justru melegakan bagi sebagian orang. Melihatku tidak banyak menanggapi ceritanya, dia pamit untuk melanjutkan pekerjaannya. Kuanggukkan kepala, meski pandanganku entah kemana. Pikiranku telah berpindah ruang.
Apakah ini saatnya aku tertawa terbahak-bahak? Apakah aku memang pantas tergelak? Bukankah perempuan yang datang di musim kemarau itu telah enyah dari hidup suamiku? Bukankah itu yang memang aku harapkan? Dia telah membawa gelap dalam kehidupan kami yang penuh retak. Aku merasa pantas untuk mengutuknya, mencacinya, meluapkan segala amarah. Iya, kan? Aku pantas bukan melakukannya? Akan tetapi, aku ini seorang istri calon pemimpin pesantren bahkan calon pemimpin daerah, aku juga dari keluarga terhormat, aku berpendidikan, apa iya aku akan melakukan tindakan yang tanpa perhitungan? Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Tidak akan kubiarkan amarah itu menguasaiku. Tenang, Hana. Tenanglah.
Aku bangkit dari dudukku, melangkah menuju sebuah meja rias di dekat jendela. Aku duduk di kursinya, menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan. Tenang, Hana. Bukankah kamu sudah pernah bersikap setenang gurun pasir ketika suamimu pulang membawa perempuan itu pulang? Ya, semestinya ketenangan serupa harus dikedepankan saat mendengar kabar pengusiran Asma’.
Aku tidak boleh menertawainya—meski aku sangat ingin. Aku harus tetap tampil tenang, berwajah sekaku keset, menarik napas dalam. Oh tidak, mungkin harusnya aku berwajah sedih, seperti Khofifah—entah dia berpura-pura sedih atau memang sedih. Apakah dia terlalu menjiwai sebagai abdi dalem, pandai berpura-pura untuk menjaga martabatku? Sungguh, kepadanya aku tidak pernah mengatakan bahwa Asma’ Masruroh adalah perempuan yang namanya selalu membuat amarahku menyala. Bukankah sudah kusampaikan, aku bersikap tenang, diam dan bermartabat. Aku menyimpan kekesalan itu sendirian, kulipat, kuikat, kulemparkan jauh di ceruk ingatan.
Aku beranjak menuju jendela kemudian membukanya. Kurasa udara siang itu berbeda, tidak seperti biasanya. Terasa lebih sejuk, berlimpah oksigen. Aku menarik napas dalam-dalam, seolah selama ini aku lupa bernapas. Dadaku terasa lega, tetapi tunggu, tidak boleh ada seorang pun yang mengetahui bahwa kabar itu membuat dadaku lega. Lekas aku menutup jendela, lalu bersandar di baliknya.
Bukan aku yang mengusir Asma’ dan sungguh aku tidak melakukan apapun untuk menyingkirkannya. Tidak. Kan, sudah kukatakan, aku mengunci perasaan benci itu dan membenamkannya di palung terdalam. Aku hanya bisa menebak-nebak, siapa yang melakukannya. Nyai Zamama, kedua iparku atau keluarga besar pesantren? Aduh, aku lupa siapa tadi kata Khofifah. Aku tidak terlalu peduli, yang jelas bukan aku sehingga orang-orang tidak perlu menyalahkanku.
Sejak kecil, aku memang tidak mau melakukan kesalahan. Kedua orang tuaku selalu mengajariku budi baik. Aku tumbuh menjadi anak yang sempurna, pandai, penurut pada orang tua, sopan, dan tidak punya keinginan sendiri. Aku tidak akan membiarkan orang lain menemukan celah untuk menyalahkanku. Labiba Hana tidak tercela.
Ketika Mas Safiy mengajak Asma’ ke pesantren dan memperkenalkan sebagai istrinya, aku tidak mau bertindak gegabah. Aku diam, tidak marah, tidak protes, tidak bereaksi apa-apa. Perempuan yang mengizinkan suaminya menikah lagi akan dijamin masuk surga, itu pujian mereka kepadaku. Lalu jika aku tidak mengizinkannya, apa lantas aku tidak pantas masuk surga? Aku sudah mencari-cari dalilnya, tetapi tidak ada yang dengan tegas mengatakan seperti itu. Perempuan hanya diminta bersabar dalam ketaatan kepada suaminya dan kesabaran itu yang akan mengantarkan ke surga.
Pujian itu sesungguhnya kebohongan. Mas Safiy tidak perlu meminta izinku untuk menikah lagi, tetapi sebagai bentuk menjaga adab kepadaku dia melakukanya. Mungkin karena itu, aku tidak banyak bereaksi saat tiba-tiba dia menggemparkan pesantren dengan membawa perempuan yang diakui sudah dinikahinya secara sah. Sebagai bentuk penghormatan kepada suami, aku menghargai keputusannya dan menghormati Asma’ Masruroh dengan selayaknya. Aku menjaga jarak, tidak mau terlalu dekat, tidak juga bermaksud menghindar. Aku hanya ingin menganggapnya tidak ada.
Seingatku, kami hanya pernah dua kali bertemu muka dan berbicara secara langsung. Pertama, saat dia mendatangiku sesaat setelah Mas Safiy dihantam isu menggemparkan. Kedua, saat dia mendatangiku setelah bayi yang dilahirkannya secara dini meninggal. Isi pembicaraan pada kedua pertemuan itu tidak jauh berbeda. Dia menanyakan sikapku terkait tuduhan yang ramai ditujukan kepada Mas Safiy. Aku tidak tahu, mengapa dia merasa perlu menanyakan itu kembali—pada pertemuan pertama sudah kukatakan dengan tegas bahwa aku akan mendukung Mas Safiy, termasuk di antaranya membersihkan jalan Mas Safiy untuk maju ke ajang pemilu kepala daerah yang akan digelar satu tahun setelah pemilu legislatif yang aku ikuti.
“Mungkin saya memang tidak akan bisa paham bagaimana dunia politik itu bekerja, Ningmas. Tetapi ... apa Ningmas Hana sama sekali tidak melihat kejujuran sekaligus ketakutan yang dipancarkan dari mata para korban? Saya merasa kasihan, Ningmas.”
Aku ingat hari itu Asma’ datang dengan wajah kusut seolah sudah lama tidak tidur karena pikirannya dipenuhi masalah yang berat. Pertanyaan Asma’ membuat dadaku berdenyut. Aku mengalihkan pandangan, mengarahkan tatapanku pada ikan-ikan koi yang berenang di kolam dekat tempat kami berbincang. Apa yang dia katakan, mengasihani korban? Atau dia mengasihani diri sendiri karena merasa dikhianati? Lalu bagaimana dengan aku? Apa saat dia menerima lamaran Mas Safiy dia tidak memikirkanku?
“Aku tidak pernah memperhatikan itu. Urusanku sudah terlalu banyak. Pesantren sedang disorot dan jelas sasaran tembak ditujukan kepada Mas Safiy dan aku. Sebenarnya gerakan ini mudah terbaca. Aku akan maju pemilu legislatif dan Mas Safiy akan maju ke pilkada. Isu-isu sengaja dibuat untuk menjegal langkah kami.”
Suaraku datar, aku mencoba bersabar memberi Asma’ pemahaman. Kudengar, ijazah Aliyah-nya saja hasil penyetaraan. Aku tidak tahu apa yang menarik dari Asma’ hingga Mas Safiy mau menikahinya. Dia bukan dari keluarga berada atau keturunan Kyai ternama, bukan pula perempuan dengan sederet prestasi yang istimewa, hanya gadis dusun dari keluarga biasa, hanya mengenyam pendidikan di pondok selama tujuh tahun—waktu yang teramat sangat singkat untuk memiliki pengetahuan agama.
Kulihat Asma’ hanya menunduk dan terus meremas-remas kedua tangannya. Perempuan itu tidak menjawab ucapanku, tetapi tidak juga beranjak dari hadapanku.
“Seandainya ... ada yang pernah ... melihatnya ...” Dia berkata dengan terbata-bata, seolah apa yang akan dikatakannya adalah sesuatu yang sangat dia jaga kerahasiaannya. Aku menoleh ke arahnya, menunggunya melanjutkan kalimat. “Apa Ningmas akan percaya?” lanjutnya.
“Percaya apa?”
“Percaya bahwa Mas Safiy memang melakukannya”
Dia kembali menunduk dalam setelah kalimatnya menghantam dadaku dengan keras. Aku tentu saja terkejut dengan perkataannya. Aku tidak percaya dia bisa mengatakan itu. Aku terus mengejarnya untuk mengatakan siapa yang melihatnya, tetapi dia tidak mau membuka mulut dan malah memilih pergi. Sejak itu dia tidak pernah datang lagi. Mungkin dia berpikir bahwa aku tidak akan berada di pihaknya sehingga dia menyelidikinya sendiri.
Upayanya untuk mengungkap kebenaran itu yang kemudian membuatnya terusir dari pesantren. Ah, Asma’ yang malang. Betapa bodohnya dia. Aku tidak tahu isi kepala Asma’ sehingga tidak bisa menebak untuk apa dia melakukan hal yang justru akan membahayakan dirinya. Bukankah Mas Safiy sangat menyayanginya? Bukankah dia adalah istri yang sering dirindukan Mas Safiy? Aku sering merasa cemburu dengan sikap penuh perhatian dan lemah lembut yang Mas Safiy berikan kepada Asma’. Sangat berbeda sekali dengan sikap dingin dan abai yang sering ditunjukkan kepadaku.
Kami menikah karena kedua orang tua kami berkawan akrab. Selain menjaga garis darah, penyatuan dua keluarga akan memberi dampak baik bagi perluasan kuasa. Kami bisa saling memberi dukungan agar pengaruh pesantren semakin luas. Tidak bisa dipungkiri, relasi kuasa di kota tempat tinggal kami masih dipengaruhi struktur kuasa kultural dari pesantren. Pengaruh Kyai Rifat Maksum, orang tua Mas Safiy, mulai meluas. Meski demikian, Kyai Rifat Maksum tidak mau terjun ke politik sehingga kekuasaannya hanya bersifat kultural saja. Aba bisa membaca peluang dan dia menginginkan aku mengisi kekosongan itu.
“Pengaruh Kyai Rifat Maksum akan menjadi kendaraan bagimu masuk ke jalur politik. Kalau menantunya yang masuk, mau tidak mau dia pasti mendukungmu,” ucap Aba waktu itu untuk membujukku supaya setuju pada usulnya menerima pinangan Kyai Rifat Maksum untuk anak ketiganya.
Aku memang tertarik pada politik sejak masih remaja. Saat kuliah, aku mengambil dua bidang studi sekaligus di waktu bersamaan, hukum serta ilmu politik dan pemerintahan. Saat Aba menyampaikan rencananya, aku baru menyelesaikan studi strata satu dan berniat melanjutkan pendidikan master.
“Aba yakin, tanpa itu semua kamu pasti bisa menjadi politikus yang hebat. Tetapi kamu perlu ingat bahwa di daerah kita, agama masih menjadi landasan moral etik untuk politik dan pengaruh paling kuat itu dari ulama’. Kamu tidak akan bisa berbuat banyak tanpa menggandeng Ulama’.”
Aku masih ingat kalimat Aba untuk membujukku. Butuh waktu agar aku bisa mempertimbangkannya. Awalnya aku sempat menolak, karena menganggap pengaruh Aba sudah cukup mendukungku.
“Tidak, Ning. Aba ini bukan siapa-siapa. Aba memang punya pesantren, tetapi tidak cukup besar. Dan dari segi pengaruh, tidak ada apa-apanya dibanding Kyai Rifat Maksum.”
Akhirnya perjodohan itu terjadi. Kami menikah dan melewati pernikahan dengan sikap dingin. Aku tahu dia tidak mencintaiku, dia mengatakannya sejak malam pertama kami yang hanya kami isi dengan diskusi dan obrolan seputar politik. Akan tetapi, bagaimana pun kami harus punya keturunan—begitu cara trah akan dilanjutkan, bukan? Kami harus melahirkan generasi-generasi yang siap memimpin pesantren dan mengurus umat.
Kami bersepakat memiliki anak saat usia pernikahan menjelang dua tahun. Dan dia sangat mewanti-wanti agar anak yang lahir nanti adalah anak lelaki. Hanya anak lelaki yang dianggap sebagai pewaris keluarga. Untuk itu, kami memerlukan diri mengikuti program kehamilan dan selalu berkonsultasi ke dokter kandungan agar kami bisa memiliki anak lelaki seperti keinginannya dan keinginan semua keluarga. Setelah hampir enam bulan mengikuti saran dan anjuran dokter, di rahimku mulai tumbuh janin, yang setelah delapan belas minggu diketahui berjenis kelamin laki-laki. Keluarga besar pesantren melakukan sujud syukur, seorang pewaris telah disiapkan. Selama sembilan bulan, aku menikmati saat-saat penuh perhatian yang diberikan oleh Mas Safiy.
Setelah bayi laki-laki itu lahir, Mas Safiy kembali pada sikapnya semula : dingin, abai dan hanya menganggapku sebagai kawan diskusi. Sebenarnya, jika Mas Safiy mau tentu bukan hal yang sulit merebut hatiku. Aku masih sama seperti para perempuan lain yang akan meleleh dengan sikap manis dan perhatian. Hadiah-hadiah kecil atau kecupan selamat tidur tentu bisa membuat kami saling belajar menerima dan mencintai. Namun, nyatanya tidak. Benteng itu sudah dibangun tinggi dan kokoh sejak hari pertama ijab kabul itu dilafazkan. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa melewati sepuluh tahun pernikahan tanpa menyentuhku sama sekali.
Mas Safiy memang rutin datang sesuai jadwal. Namun, kami sering kali tidur di kamar terpisah. Jika pun bersama, biasanya kami tidak melakukan apa-apa selain saling bertukar isi kepala. Ya, setidaknya dia masih menjadikanku teman bicara. Sebagai teman, dia sangat menyenangkan. Pengetahuannya luas dan penuh kebijaksanaan, tetapi sayang pada beberapa hal pola pikirnya tidak sesuai denganku. Ada hal-hal yang tidak bisa kupahami, terutama kecintaannya pada seni lukis dan tanda lahir.
Saat dia mengatakan kepadaku telah menemukan perempuan dengan tanda lahir di dadanya, aku semakin merasa aneh. Kukira kegandrungannya pada tanda lahir berbentuk bunga mawar hanya imajinasinya belaka, rupanya dia benar-benar mencarinya. Dia mengatakan kepadaku dengan mata berbinar telah menemukan perempuan dengan tanda lahir persis seperti yang selalu hadir dalam mimpinya. Aku tidak menduga dia akan menikahi seorang perempuan hanya karena perempuan itu memiliki tanda lahir berupa sulur mawar merah kebiruan seperti yang selalu dilukisnya. Aku sempat menduga, apa Mas Safiy ikut aliran tertentu sehingga sangat antusias pada tanda lahir? Atau ada sebuah kelainan psikologi sehingga membuat aliran darahnya menderas setiap melihat tanda lahir berupa rumpun mawar kebiruan? Meski aku curiga, aku menepis dugaan-dugaan tanpa landasan itu.
Saat dia mengatakan kepadaku bahwa perempuan dengan tanda lahir berbentuk mawar itu masih berusia sembilan tahun, aku kembali terkejut. Dugaanku semakin mengarah kepada sebuah penyakit kejiwaan. Aku kembali menebak-nebak. Pikiranku berkecamuk. Keherananku semakin bertambah saat dia mengatakan akan menunggu bocah kecil itu hingga baligh dan cukup umur untuk dinikahi.
Selama empat tahun aku menikah dengannya, itu adalah kali pertama aku melihat pancaran bahagia di matanya. Aku menoleh pada bocah lelaki berusia satu tahun yang baru saja kutidurkan. Entah kenapa, saat itu hatiku seperti diremas-remas. Aku mungkin sudah tahu bahwa dia tidak mencintaiku, tetapi mendengarnya akan menunggu dengan sabar seorang gadis kecil yang memiliki tanda lahir pada dada sebelah kanannya, rasanya aku pantas merasa sakit hati.
Akan tetapi, karena aku sudah terbiasa bersikap rasional maka yang keluar dari mulutku saat itu hanya ucapan penuh kebijaksanaan. Aku mempersilakannya. Pernikahan kami memang hanya sebuah kesepakatan dan kami sama-sama memiliki tujuan. Meski arah langkah kaki kami berbeda tetapi tujuan utamanya tentu saja sama. Sebagai istri, aku sudah melaksanakan tugasku memberinya keturunan seorang anak lelaki yang akan menjadi pewaris trah pesantren.
Saat aku mengingatkan tentang tugasnya kepadaku yang belum selesai, dia menjawab dengan tenang.