NENEK Ambar sudah dijemput oleh salah satu anaknya dan dibawa ke Jakarta. Dia akan tinggal bersama anak dan cucu-cucunya. Aku merasa lega, setidaknya dia tak akan lagi mengalami kesepian. Bukankah teror yang paling menyeramkan adalah dihimpit kesepian? Aku yakin, jauh di dalam hatinya Nenek Ambar merasa tenggelam dalam kesunyian dan berharap salah satu anaknya bersedia menemaninya di rumah.
Rumah bercat kuning gading itu kini sunyi. Hanya lampu redup yang menyala di terasnya. Security yang menjaga rumahnya juga sudah kembali pada pos jaga di gerbang perumahan. Aku masih di kamar, menyelami artikel lama yang memuat berita pencabulan santriwati di Joyogiri. Beberapa artikel sengaja aku print dan kubuat kliping. Aku ingin membuat kronologi kejadian, setidaknya cerita yang berasal dari media massa.
Sambil membaca berita, aku mulai mencari jalan untuk bisa mengakses koronologi kejadian dari sumber kredibel lain seperti dari dokumen persidangan, berkas penyidikan, atau hasil wawancara dengan pelaku dan korban. Kepalaku mencoba mengingat-ingat seseorang yang bisa membantuku untuk mendapatkan berkas-berkas hukum tersebut.
Tiba-tiba aku teringat bundel naskah yang dikirim Marlina. Bukankah itu adalah hasil wawancara dengan orang-orang disekitar pelaku? Akan tetapi, seberapa banyak naskah itu bisa dipercaya dan mendekati kebenaran?
Joyogiri bukan kota besar, hanya sebuah kota kecamatan di sebuah kabupaten dengan pendapatan asli daerah yang tidak terlalu besar tetapi juga tidak bisa digolongkan lima terbawah di Jawa Timur. Dari tahun ke tahun tidak ada perkembangan kota yang mencolok. Joyogiri lebih dikenal sebagai kota pesantren atau kota santri. Ada banyak pondok pesantren yang tersebar hampir di semua wilayah di Joyogiri. Pondok pesantren Jamaiyah—tempat terjadinya pencabulan—merupakan salah satu pesantren besar yang ada di Joyogiri.
Teka-teki ini tentu bukan hal yang mudah untuk aku pecahkan. Apalagi aku tidak memiliki teman yang mengetahui secara langsung peristiwa tersebut. Tunggu, tiba-tiba aku teringat seseorang. Teguh, teman SMA-ku. Dia lulusan hukum. Jika aku tak salah ingat, Teguh pernah bekerja di sebuah kantor pemerintahan yang dekat dengan urusan atau perkara. Entah itu di kantor kejaksaan atau pengadilan. Senyumku mengembang merasa menemukan titik terang. Tidak ada salahnya dicoba, pikirku. Aku bangkit dari kursi dan meraih ponsel yang sejak tadi kuletakkan di atas nakas di samping tempat tidur.
Aku sudah lama tidak menghubunginya. Kuharap dia tidak berganti nomer handphone. Dering nada sambung terdengar. Aku menunggu dengan cemas. Semoga dia masih menyimpan nomer ponselku. Hingga nada dering berhenti, tidak ada suara sapaan dari seberang sana. Aku mendengkus kesal, tetapi tak mau berputus asa dan mencoba menghubunginya kembali. Sudah berkali-kali nada sambung berbunyi, tetapi tidak ada jawaban apapun. Kulempar ponsel itu ke atas kasur dengan kesal. Aku kembali ke tempat duduk dan kembali mengetikkan sesuatu pada layar laptop menyusuri mesin pencarian.
Aku sudah membaca hampir semua artikel berisi berita pencabulan santriwati di Joyogiri. Beritanya nyaris sama, tidak ada lagi informasi baru yang kuperoleh tetapi tetap tidak kutemukan hasil wawancara dengan para korban atau keluarga korban. Tampaknya keluarga korban benar-benar tidak mau bicara atau mungkin tidak diperbolehkan bicara.
Saat aku sudah mulai putus asa dan lelah, tiba-tiba ponselku berbunyi. Kulihat jam di atas nakas sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku beranjak dari kursi sambil menguap. Biasanya yang menghubungiku malam-malam begini adalah Willy, si anjing herder, untuk membicarakan pekerjaan. Akan tetapi, bukankah dia yang memintaku untuk cuti dan beristirahat?
Kuraih ponsel yang masih terus berdering itu. Tidak ada nama tertera di layarnya. Sambil mengernyitkan kening, aku menekan tombol hijau dan mulai menjawab panggilan tersebut.
“Halo, Rin. Sori, baru selesai ketemu klien.” Suara seorang pria tiba-tiba menyapaku dari seberang.
“Maaf, dengan siapa, ya?” tanyaku merasa tak mengenal nomer ponsel yang menghubugi.
“Oh, aduh maaf. Ini nomerku yang lain. Ini Teguh, Rin. Tadi kamu meneleponku, kan?”
“Ah, Teguh. Finally.” Aku spontan berteriak senang. Rasanya seperti ada guyuran air hujan yang membasuh kelelahanku membaca artikel-artikel terkait pencabulan santriwati di Joyigiri sejak pagi tadi.
“Ada apa, Rin? Tumben kamu menelepon. Kamu lagi di Joyogiri?” tanyanya.