ANAK yang aku asuh sejak usia empat tahun itu mungkin memang dilahirkan dengan jiwa yang penuh rahasia. Sering kutemukan sorot matanya memancar dengan redum, seolah ndak sanggup menyembunyikan kesepian yang menderanya. Meski sikapnya selalu jatmika kepada orang tua, masih ada bagian dirinya yang remang dan sulit teraba. Sejak lama aku sudah berusaha menjadi ibu yang baik baginya tetapi tanganku tetap ndak bisa menyentuh sukmanya.
“Aba, tolong ummi, Ba.”
Jariku terus menerus memutar biji zaitun berwarna cokelat yang dirangkai sebanyak 99 itu. Pada tiap untaiannya tak lepas kulafalkan asmaul husnah satu per satu, sambil berharap pemilik-Nya ridho menolongku keluar dari kesulitan yang sedang melanda.
Sejak rombongan polisi lengkap dengan senjata dan rompi hitamnya datang menyerahkan selembar surat yang meminta agar pesantren menyerahkan Safiy, aku ndak pernah beranjak dari duduk ataupun membuka mukena. Aku begitu ketakutan. Kurasakan sebuah ihwal besar sebentar lagi akan melunyah pesantren.
Safiy yang sedang ada acara di luar kota sulit dihubungi. Para santri yang mengawalnya pun seperti lesap ditelan bumi. Sudah satu minggu ndak ada kabar. Suasana pesantren mulai riuh. Riak-riak permukaan mulai berubah menjadi ombak. Desas-desus ndak bisa lagi diredam.
Setelah hampir satu bulan aku belum menemukan kejelasan mengenai keberadaannya, rombongan polisi bersenjata lengkap datang lagi. Lelaki tinggi tegap bersenjata lengkap tersebar hampir di seluruh penjuru pesantren. Suara derap sepatu lars menggetarkan kaca-kaca jendela. Pintu-pintu ke luar dijaga dengan ketat.
Bersama Haidar, aku menemui rombongan polisi yang dipimpin langsung oleh komandan tertingginya. Sebuah surat pemanggilan resmi kepada Safiy diberikan kepadaku. Aku membuka surat beramplop cokelat bersampul logo kepolisian Republik Indonesia itu. Dalam kertas putih itu nama Safiy sudah ditetapkan dalam daftar pencarian orang. Kepala polisi sempat bertanya banyak hal kepadaku. Aku ndak bisa memberi keterangan seperti yang diharapkan. Pesantren benar-benar tidak mendapat berita apa pun dari Safiy. Aku hanya mengatakan akan bekerja sama dengan baik dan memberi mereka informasi yang dibutuhkan. Mereka berjanji akan datang lagi minggu depan, jika Safiy belum juga diserahkan. Sepertinya mereka masih mengira, aku menyembunyikan Safiy di dalam pesantren.
Dalam keadaan seperti itu, aku merasa kehadiran Kyai Rifat Maksum sangat dibutuhkan. Aku tiba-tiba teringat almarhum, bagaimana Kyai sering dikecewakan oleh Safiy. terutama saat anak bungsu dari istri pertamanya itu menikahi seorang perempuan muda tanpa meminta izinnya terlebih dahulu. Kyai merasa dilangkahi dan dianggap ndak ada.
Keputusan Safiy sempat membuat kami bersilang pendapat. Kami berbeda sikap mengenai keputusan yang akan diambil untuk anak dan menantu barunya itu. Rona kecewa ndak bisa ditutupi dari mata kelabu Kyai Rifat Maksum sore itu. Dia duduk di kursi rotan dekat jendela yang daunnya terbuka. Kopiah putih yang digunakan, dilepas dan diletakkan di pangkuan. Rambut putihnya yang tipis semakin memperlihatkan betapa lelah dia menghadapi anak lelakinya.
Terdengar suara derit pelan saat Kyai Rifat Maksum menyandarkan tubuhnya. Aku terpaku di bibir ranjang setelah lelah membujuknya. Dia tentu sangat terpukul, anak yang diharapkan dapat meneruskan perjuangannya dalam dakwah justru sibuk dengan urusan pribadinya sendiri.
“Agama kita memang ndak melarang seorang lelaki menikah lebih dari satu. Tapi syarate harus adil. Jangan berlindung dibalik pembolehan itu hanya untuk melegalkan keinginan menuntaskan hasrat. Kudu ono alasan yang mantiki, mengapa harus menikah lagi.”
“Mungkin Hana terlalu dingin, Ba. Aku lihat Hana sibuk dengan organisasinya,” sahutku mencoba memberi pandangan baru.
“Perempuan itu seperti alam, karena itu ada sebutan ibu pertiwi. Saat kita menanam sebuah biji, maka ia akan memberi kita sebuah pohon dengan buahnya. Perempuan akan mengembalikan dua kali lipat atau bahkan mungkin lebih banyak lagi dari apa yang diberi. Begitu juga saat kita memberinya sampah, maka ia akan memberi kita musibah. Jangan salahkan Hana. Pasti ada sesuatu kenapa Hana bersikap seperti itu, bisa saja itu cara dia menanggapi sesuatu. Mungkin ... Safiy juga ndak perhatian sama Hana.”
Kerut keningnya kentara semakin berlipat. Pandangannya terarah lurus ke luar jendela.
“Pasti Safiy punya alasan, Ba. Yang perlu kita pikirkan sekarang, bagaimana sikap pesantren kepada Asma’. Ndak mungkin, to, kita akan mengabaikan atau menganggapnya ndak ada. Kita harus bijak menyikapi ini, Ba.”
“Aku wes ngiro, Safiy belum siap meneruskan kepemimpinan pesantren ini. Aku meragukannya.”
“Mungkin dia butuh waktu.”
“Butuh waktu apa? Usianya sudah 35 tahun, dia bukan anak kecil lagi yang harus kita suapin.”
Aku menarik napas panjang mendengar suara Kyai yang mulai meninggi. Safiy adalah putra Kyai dari almarhum istri pertama. Kyai sangat berharap Safiy yang akan melanjutkan kepemimpinannya di pesantren. Dia berumur empat tahun saat ibunya meninggal. Tiga bulan setelah itu, Kyai menikahiku dan aku mulai masuk dalam lingkungan pesantren. Aku sangat tahu bagaimana Kyai seringkali harus mengelus dada oleh kelakuan anak lelakinya itu.
“Aku sudah mau mengirim dia ke Mesir, tetapi kamu malah melarang karena kasihan.”
“Usianya terlalu kecil waktu itu, Ba. Dia baru saja kehilangan ibunya, emosinya belum tenang, masak iya langsung dikirim ke Mesir. Aku hanya pengen belajar jadi ibunya, ngasih dia perhatian, kasih sayang. Biar bocahe ndak merasa sedih terus-terusan.”
Satu tahun setelah aku masuk dan menjadi ibu sambung bagi Safiy, Kyai berencana mengirim bocah lelaki berusia lima tahun itu ke Mesir untuk mondok. Namun, siapa yang tega. Anak itu masih manja, masih sering nangis kalau ingat ibunya. Emosinya masih naik turun, masih sering marah-marah. Aku yang meminta agar ditunda sampai dia sedikit tenang. Meskipun rupanya sampai usia belasan, dia tetap labil dan mudah sekali tersinggung.
Perubahan baru terjadi ketika dia lulus tsanawiyah. Safiy mulai gandrung pada lukisan. Kulihat kegemarannya itu perlahan membuat perasaannya lebih ajek. Perkembangannya membuatku berbesar hati. Apalagi sebentar lagi dia dan Haidar akan diberangkatkan ke Mesir.
Sebenarnya, Kyai sudah sering mendapat masalah gara-gara Safiy. Hal itu yang kadang bikin Kyai sering banding-banding ke Safiy sama Haidar. Haidar itu anak pertamaku. Usianya terpaut lima tahun saja dengan Safiy. Waktu kecil mereka sering main bareng, tetapi karena sering dibanding-bandingkan mereka lalu renggang. Safiy ndak mau lagi dekat-dekat Haidar.
Sewaktu mau masuk Aliyah, Safiy ikut tes untuk ke mesir. Sayangnya gagal. Sedangkan Haidar, meski usianya waktu itu baru dua belas, dia lolos. Rupanya kegemarannya melukis membuat Safiy ndak lagi fokus mengkaji ilmu agama. Kegagalan itu membuat Safiy marah sama Haidar, dianggap ditelikung. Padahal yang calon pemimpin pondok, kan, dia. Malah dia ndak dikirim ke Mesir. Mungkin begitu pikirnya.
Kyai meminta Safiy untuk ikut tes lagi tahun depan tetapi malah ditolak. Kyai Rifat Maksum murka, sampai akhirnya mengirim anak lelakinya itu ke pondok temannya di luar Jawa. Safiy merasa terbuang dan semakin jauh dari abanya. Hubungan keduanya memang ndak akrab sejak dahulu. Sebagai ibu sambung, aku sudah berusaha untuk memberi kasih sayang seadil mungkin. Dibandingkan kepada abanya, Safiy lebih banyak bercerita kepadaku. Namun, sejak dia mondok di luar pulau, Safiy seperti anak hilang. Ndak pernah berkabar dan jarang pulang.
Setelah lulus Aliyah, Kyai kembali menawarinya untuk ke Mesir. Haidar sudah tiga tahun di sana. Namun, Safiy lagi-lagi menolak dengan mengatakan ingin masuk universitas saja. Jurusan yang diambilnya pun seni rupa, sangat ndak lazim bagi kami orang tuanya. Kyai tentu saja ndak setuju, ndak kaprah anak ulama’ masuk jurusan itu. Mau jadi apa, gerutunya.
Abanya meminta supaya Safiy kembali ke Jawa saja, membantu abanya mengurus pesantren. Permintaan itu pun ditolak juga. Aku ndak habis pikir, Safiy biasanya selalu tunak pada perintah orang tua, tetapi kali ini dengan tegas melawan. Dia punya pilihan sendiri. Abanya kembali bimbang dan mencari cara supaya Safiy mau kembali ke rumah. Bujukan abanya juga kedua kakak perempuannya ndak digubris sama sekali. Dia bersikukuh untuk sekolah seni rupa.
Aku pernah meminta izin kepada Kyai untuk mengunjungi Safiy di tempatnya berkuliah. Kyai memberi izin, berharap aku bisa membujuknya. Aku datang ke sana, menempuh perjalanan hingga puluhan jam lamanya. Namun sampai di sana, Safiy yang kukenal sudah berbeda. Dia tetap bersikap hormat kepadaku, tetapi dia teguh menolak permintaanku untuk pulang. Bahkan saat aku mengatakan akan membantunya ke Mesir, dia semakin menolak dengan keras.
“Ndak perlu, Ummi. Saya sudah ndak kepengan sekolah di Mesir. Saya sudah dapat apa yang saya mau di sini,” ucapnya penuh keyakinan.
“Apa yang kamu dapat to? Lihat dirimu, Le. Rambutmu gondrong semrawut, mukamu lusuh, badanmu kurus. Kamu kayak ndak terurus. Ayo, to, mending mbalik. Aba butuh kamu. Aba sudah tua, sudah waktunya istirahat. Kamu yang mau dikader jadi penerusnya.” Aku terus membujuknya.
“Ndak, Mi. Kan, sampun ono Haidar. Dia sudah lama di Mesir, ilmu agamanya sudah tinggi. Dia lebih pantas.”
“Kamu anak yang lebih tua seharusnya yang lebih pantas.”
Safiy lagi-lagi menggeleng. Kami terdiam cukup lama. Aku mencermati penampilannya yang tampak seperti pemuda liar. Safiy terus menunduk, tetapi tetap bersikeras menolak ajakanku untuk pulang.
“Tapi kamu masih belajar ngaji, to? Masih mondok?”
Safiy mengangguk. Aku menghela napas panjang. Menyerah. Setidaknya dia masih ingat pada asalnya, pada pondok pesantren sebagai rumahnya. Aku pulang dengan tangan kosong. Upayaku gagal.
Setelah lulus dan menjadi sarjana, dia ndak punya lagi alasan untuk tinggal di luar pondok. Abanya sudah dengan tegas nyuruh dia kembali. Aku ndak tahu apa kesepakatan di antara Kyai dan Safiy, tetapi setelah itu Safiy lebih banyak menuruti perintah abanya.
Pada bulan Rajab, Safiy pulang. Rambut gondrongnya masih ada, begitu juga badannya yang kerempeng. Kyai menempatkan Safiy di dalem tengah, memercayakan pengurusan santri putra kepadanya. Meski telah diberi tanggung jawab, Safiy ndak terlihat sibuk mengurus pesantren. Dia lebih banyak mendekam di rumahnya.
Lima bulan setelah kembali, Kyai melamarkan seorang gadis untuknya. Tanpa banyak penolakan Safiy dinikahkan dengan anak perempuan sahabat abanya. Labiba Hana adalah perempuan yang dipilih oleh Kyai Rifat Maksum untuk menemani Safiy sekembalinya dari luar Jawa.
Aku mulai bisa bernapas lega. Sejujurnya aku sangat penasaran, upaya apa yang dilakukan Kyai hingga Safiy mau kembali kemudian menikah. Aku hanya bisa menduga, mungkin Kyai membuat penawaran dan berjanji untuk tidak mengganggu hobi Safiy sepanjang dia menuruti perintahnya. Apa pun kesepakatan itu, aku merasa senang karena ndak ada lagi masalah yang berarti. Meski pernikahan itu adalah hasil perjodohan, Safiy dan Hana tampak baik-baik saja menjalaninya.
Ihwal baru timbul setelah Asma’ datang. Seorang perempuan muda yang tiba-tiba saja dibawa masuk pesantren dan diakui sebagai istri baru Safiy. Aku dan Kyai bukan hanya terkejut, rasanya seperti disiram air comberan. Ndak ada permintaan maaf ataupun penjelasan dari Safiy, seolah-olah dia ndak melakukan suatu hal yang membuat gempar seluruh pesantren. Kyai sudah dibuat malu, tetapi Safiy seakan ndak terlalu peduli dan sibuk dengan istri barunya.
Demi menjaga kondisi pesantren dan wibawa Kyai, kami menerima Asma’ dan menempatkannya di dalem timur. Kondisi berangsur tenang dan sesudahnya ndak ada masalah berarti. Asma’ dan Hana juga tampak baik-baik saja. Hana ndak pernah mengeluh atau terlihat ndak suka dengan kehadiran Asma’, begitu juga sebaliknya. Meski aku ndak terlalu sering berbincang dengan Asma’ , kulihat dia cukup baik dan mampu merawat Safiy.
Dua tahun setelah pernikahan Safiy dan Asma’, Kyai mulai sakit-sakitan. Dia berkali-kali memintaku untuk menyuruh Haidar pulang. Katanya, pesantren butuh Haidar, butuh sosok pemimpin baru yang masih punya semangat. Kyai mengatakan sudah lelah dan pengen istirahat. Rupanya dia masih belum mau menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada Safiy. Dia masih mengharapkan Haidar yang akan meneruskannya. Aku terpaksa berkirim surat kepada Haidar di Mesir dan memintanya kembali.
Kepulangan Haidar disambut baik oleh Kyai. Dengan seizin Haidar, kami menjodohkan dia dengan salah satu kerabat dekat Kyai—salah satu anak dari sepupu Kyai yang tinggal di lain kota. Usia Haidar sudah 32 tahun waktu itu dan dia sangat patuh pada Kyai.
Satu tahun setelah kepulangan Haidar, Kyai mengumpulkan semua anaknya : tiga anak dari istri pertama dan dua anak dariku. Kyai juga mengajakku turut serta. Dalam pertemuan keluarga yang berlangsung tertutup itu, Kyai dengan tegas menyampaikan bahwa kepemimpinan pesantren akan dilanjutkan oleh Haidar. Aku tentu saja terkejut, begitu juga anak-anaknya yang lain, kecuali Safiy. Dia terlihat tenang dan ndak bereaksi, seperti sudah tahu jika keputusan ini memang akan dipilih oleh Kyai.
Protes keras datang dari kedua kakak perempuan Safiy : Shumailah dan Syammaa. Mereka dengan tegas menentang keputusan Kyai dan meminta supaya kepemimpinan pesantren diserahkan kepada Safiy. Aku dan kedua anakku : Haidar dan Hamima, ndak berani bersuara. Aku tahu, keputusan Kyai itu akan sangat mengecewakan ketiga anaknya dari istri pertama.
Sebelumnya Kyai Rifat Maksum sama sekali ndak mengatakan apapun kepadaku. Keputusan itu diambil tanpa pertimbanganku sama sekali. Mungkin dia tahu aku akan menentang keputusannya. Aku ndak mau menjadi terpojok dengan keputusan itu.
Kyai ndak menghiraukan sikap kedua putrinya dan tetap pada keputusannya. Kyai juga ndak menjelaskan alasan yang mendasarinya mengambil keputusan tersebut. Pertemuan itu selesai tanpa mencapai mufakat dan menyisakan perasaan ndak nyaman di hatiku. Setelah pertemuan itu pun, Kyai mengisyaratkan agar aku ndak perlu lagi mempertanyakan keputusannya. Aku ndak bisa berkutik.
“Sami’na wa ato’na, Mi,” ucapnya dengan lirih. Tampak gurat lelah dari matanya yang membuatku ndak mau lagi bertanya dan menambah keruh suasana.
Haidar juga ndak berani menolak, meski aku tahu dia pasti merasa ndak enak kepada Safiy dan kedua kakaknya yang lain.
“Sudahlah, Le. Abamu sudah tua, laksanakan saja keputusannya dengan baik dan amanah,” nasihatku kepada Haidar saat dia meminta pertimbanganku atas keputusan abanya.
Belum sempat hasil pertemuan itu disampaikan ke pengurus pesantren atau ke keluarga besar pesantren, Kyai Rifat Maksum mangkat. Dia meninggal dengan tenang saat sedang salat subuh di kamar. Kyai sudah lama sakit, ndak memimpin salat di masjid pesantren dan memilih salat di kamar. Kepergian Kyai membuat pesantren diselimuti duka mendalam.
Satu bulan setelah Kyai sedho. Rapat besar pengurus pesantren di gelar. Semua keluarga diundang untuk menentukan tampuk kepemimpinan pesantren selanjutnya. Aku kira, Shumailah dan Syammaa akan mematuhi wasiat abanya perihal kepemimpinan pesantren. Ternyata ndak, mereka justru meminta Safiy. Saat aku ditanya persetujuanku, aku menoleh kepada Haidar yang sedang menatapku.
Sesungguhnya hatiku merasa berat, seperti sedang mengkhianati amanah Kyai. Akan tetapi, melihat raut wajah Shumailah dan Syammaa, aku ndak mau membuat masalah baru di pesantren. Kami masih berduka kala itu. Apalagi Safiy juga ndak terlihat menolak permintaan kedua kakak perempuannya.
“Buat saya, siapa saja yang melanjutkan kepemimpinan pesantren ndak masalah. Bisa Safiy, bisa juga Haidar. Kyai hanya berpesan, dia harus orang yang memiliki sifat siddiq, amanah, tablig dan fatanah atau setidaknya mendekati itu. Mampu berkata benar, dapat dipercaya atau jujur, mampu menyampaikan kebenaran syariat, dan bijaksana.”
Aku ndak langsung menjawab iya atau tidak kala itu. Aku berusaha memberi jawaban dengan hati-hati, dengan kalimat-kalimat yang terselubung, sambil berharap Safiy atau kedua kakaknya akan ingat pada keputusan Kyai. Akan tetapi, ndak ada satupun yang menjawab. Ndak mungkin mereka lupa. Kuduga mereka memang sudah sengaja mau mengabaikan pesan mendiang abanya.
Sidang itu akhirnya memutuskan Subhan Safiy, anak ketiga Kyai Rifat Maksum, yang melanjutkan kepemimpinan pesantren. Lagi-lagi, demi menjaga situasi di lingkungan pesantren tetap tentram, aku diam saja dan ndak menentang keputusan itu. Haidar menggenggam tanganku erat, mungkin dia tahu bagaimana remuknya hatiku. Setelah rapat itu selesai, aku menangis di kamar. Bukan karena anakku ndak diangkat jadi pemimpin pesantren, karena merasa bersalah telah dengan sengaja mengabaikan wasiat mendiang Kyai.
Hatiku mulai berangsur tenang setelah melihat upaya Safiy yang bersungguh-sungguh memimpin pesantren. Dia terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya. Safiy sering meminta pertimbanganku pada beberapa urusan, mungkin itu salah satu usahanya untuk meredam kekecewaanku. Perlahan, aku berangsur menerima hasil rapat itu. Haidar ndak lagi tinggal di pesantren dan memilih tinggal di kediaman istrinya, sebuah pesantren kecil di luar kota.
Masalah mulai datang setelah dua tahun masa kepemimpinan Safiy. Labiba Hana tiba-tiba saja meminta restu untuk maju dalam pemilihan legislatif. Aku terkejut, Kyai selalu menjaga agar pesantren ndak ikut-ikut masalah politik. Aku sempat menolak permintaan Hana, tetapi dia terus membujuk. Apalagi Hana menjelaskan tujuannya memilih terjun ke dunia politik.
“Mas Safiy sangat mendukung saya, Bu Nyai. Beliau juga berniat maju ke ajang Pilkada sesudahnya.”