Bertiga kami duduk saling berhadapan pada sebuah meja bundar di sudut ruang kafe yang berbatasan langsung dengan taman. Jendela besar yang terbuka membuat angin yang bertiup pelan bisa leluasa mengalir ke tengah ruangan. Di hadapanku, teguh duduk berdampingan dengan seorang lelaki tinggi besar dengan rambut klimis yang disisir rapi ke arah belakang. Setelah bersalaman dan berbasa-basi dengan Teguh, kawan lama yang sudah sejak kuliah tak pernah bertemu, kami mulai membicarakan tujuan pertemuan.
“Ini kasus lama, tapi saya masih ingat detailnya. Saya mendampingi korban secara probono sejak tahun 2016,” ucap Tony, kuasa hukum salah satu korban pencabulan di Pondok Pesantren Jamaiyah.
Pertemuan Tony dengan salah satu korban bermula ketika salah satu kerabat korban menghubunginya untuk berkonsultasi. Sebagai mana umumnya, pelecehan seksual dan pencabulan dianggap sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Mereka bertemu di rumah kerabat korban tanpa kehadiran korban sama sekali, hanya orang tua dan dua kerabatnya. Setelah mendengar cerita orang tua korban, Tony menawarkan diri untuk menyusun kronologi cerita untuk kemudian mendampingi pembuatan laporan ke polisi.
Tidak disangka orang tua korban justru berang dan menganggap Tony melakukan provokasi. Rupanya, orang tua korban sejak awal tidak setuju bertemu dengan Tony. Mereka menganggap apa yang terjadi pada anak mereka adalah aib keluarga yang harus disimpan rapat.
“Orang tua korban bahkan mengatakan bahwa mereka sangsi dengan cerita sang anak. Bayangkan, bagaimana perasaan sang anak saat orang terdekatnya tidak mempercayai ceritanya.” Tony menghela napas panjang. “Memang tidak mudah membuat orang percaya adanya pelecehan seksual atau pencabulan. Apalagi biasanya itu terjadi di ruang privat dan tertutup. Tidak ada saksi, tidak ada bukti. Dan parahnya lagi, itu dilakukan oleh tokoh agama yang memiliki reputasi baik di masyarakat. Siapa yang akan percaya, iya, kan?” lanjut Tony.
“Dunia memang kadang menipu, ya. Kami-kami ini, yang kerap berjibaku membela klien untuk mendapatkan keadilan hukum justru seringkali dituding mempermainkan hukum, curang, kerap bermain perempuan dan tuduhan lainnya.” Teguh menimpali dengan tertawa. Mereka berdua tertawa miris.
“Tantangan sebenarnya justru datang dari pihak orang tua dan keluarga korban. Saya butuh waktu hampir enam bulan untuk meyakinkan mereka bahwa ini kasus yang harus dilaporkan. Apalagi setelah saya bertemu dengan korban dan mendengar ceritanya secara langsung. Korbannya lebih dari dua orang.” Tony melanjutkan setelah mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Aroma tembakau menguar. Beruntung kami duduk di pojok ruangan, tidak jauh dari jendela yang terbuka lebar. Asap rokok yang mengambang di udara, perlahan menipis terbawa angin ke luar ruangan.
“Apa yang Pak Tony lakukan untuk meyakinkan orang tua dan pihak keluarga?” tanyaku setelah meletakkan gelas berisi cokelat dingin yang telah kusesap perlahan. Titik-titik embun membasahi dinding luar gelas.
“Untungnya, kerabat korban yang menghubungi saya itu, memiliki pemahaman hukum yang cukup baik. Dia teman saya kuliah, lulusan hukum juga tapi memilih menjadi wirausaha. Dia yang membantu saya membujuk dan memberi pencerahan kepada orang tua dan pihak keluarga.”
Aku mengangguk-angguk mendengar cerita Tony.
“Tapi, ya. Tidak serta merta. Sangat sulit. Apalagi ada rasa ketakutan dari keluarga. Orang tua korban juga alumni pesantren itu. Beberapa keluarga korban juga. Makanya sangat sulit. Mereka nggak berani melawan, takut kualat dan takut ilmunya nggak berkah kalau melawan Kyai dan keluarganya.”
Kali ini, aku yang mendesah panjang. Aku mengambil gelas cokelat dingin itu dan kembali menyesapnya. Tenggorokanku terasa kering.
“Yang harus korban hadapi adalah rasa malunya sendiri, ketidakpercayaan keluarganya, dan terlebih ketakutan akan dianggap kualat dan melawan gurunya. Secara psikologis, korban sangat tertekan.” Aku mencoba menyimpulkan apa yang sedang kami bicarakan. Teguh dan Tony serempak mengangguk.
“Apa saya bisa bertemu dengan korban? Tidak perlu semuanya, setidaknya salah satu.” Aku memandangi Teguh dan Tony bergantian. Teguh tampak menoleh ke arah Tony yang sedang mengerutkan keningnya.
“Sepertinya tidak bisa. Mereka sudah sudah payah melewati masalah yang berat ini selama lebih lima tahun. Mereka sudah menjalani kehidupan normal saat ini dan berusaha melupakan luka masa lalu itu. Saya akan merasa bersalah kalau mengajak Mbak Rianti bertemu mereka. Apalagi tidak mungkin kan saat bertemu Mbak Rianti nggak nanya-nanya masalah pencabulan itu. Nggak bisa, Mbak. Maaf.”
Tony menggeleng pelan. Aku bisa memahami penolakannya. Kedatanganku pastinya akan membangkitkan kenangan buruk itu.
“Apa mereka saat ini sudah benar-benar bisa menjalani kehidupan yang normal? Saya hanya penasaran.” Ucapku. Aku benar-benar ingin tahu, bagaimana gadis-gadis itu pada akhirnya bisa kembali.