MERASA sudah menjadi penyelamat, kakak saya ingin kami membayar apa-apa yang sudah dia berikan dan apa yang sudah ditinggalkan, dia ingin kami merawatnya. Selama tujuh tahun dia telah menghidupi saya dan ibu saya, dan memperbaiki rumah yang nyaris rubuh, dan menyekolahkan saya dari SD hingga SMP, dan meninggalkan seorang anak kecil berusia dua tahun yang tidak pernah jelas siapa bapaknya. Gadis yang matanya hanya segaris itu, yang rambutnya lurus tergerai bagai tirai hujan, yang kulitnya transparan, melekat kuat dan menimbulkan banyak kemalangan dalam kehidupan saya semenjak itu.
Kakak saya menjadi seorang pekerja migran di Jepang sejak usianya belasan. Kata ibu, dia pahlawan. Maka saat dia membawa pulang Yuri tanpa pernah terdengar kabar bahwa dia sebelumnya sudah menikah, ibu diam saja dan tidak banyak bertanya. Mungkin seperti pekerja migran malang lainnya yang sering saya dengar kabarnya di televisi, kakak saya diperkosa lalu melahirkan seorang anak. Atau dia punya pacar orang Jepang lalu ditelantarkan setelah ketahuan mengandung. Itu tebakan saya. Cerita aslinya, saya tidak tahu. Usia saya masih sepuluh tahun kala itu.
Saat usia Yuri sepuluh tahun, ibu meninggal. Saya menghubungi kakak saya, untuk memintanya pulang, untuk hadir pada pemakaman dan mengambil kembali titipannya. Waktu itu saya sudah bekerja di binatu tetapi rasanya tak akan sanggup merawat seorang anak kecil sendirian. Apalagi saya masih muda dan dia bukan tanggung jawab saya sepenuhnya.
Meski hanya sebentar, kakak saya sempat pulang kemudian menghilang. Iya, dia seperti ditelan bumi. Dia datang hanya satu minggu, lalu pamit ke kota hendak mengurus asuransi ketenagakerjaan. Sejak itu dia tidak pernah lagi kembali, bahkan tidak pernah bisa lagi dihubungi. Mau tidak mau saya harus mengurus Yuri seperti saat ibu masih ada. Bedanya, sekarang saya juga harus nyambi bekerja untuk biaya kehidupan kami berdua karena kiriman dari kakak saya berhenti sepenuhnya. Giliran saya untuk menyekolahkan Yuri, seperti dahulu kakak saya menyekolahkan saya.
Saya akui, kadang saya keras kepadanya. Saya melampiaskan kekesalan kepada kakak saya melalui Yuri yang tumbuh sebagai gadis muda dengan tinggi semampai, rambut hitam sepinggang, dan kulit bersih berkilau. Sangat berbeda dengan saya yang kerap dianggap sebagai pembantunya saat kami jalan bersama. Banyak yang memuji penampilannya, karena itu dia berlaku seperti nyonya rumah. Meski saya sudah mengajarkan cara membersihkan rumah, Yuri terlalu pemalas. Dia sering membuat saya jengkel dan saya sering menyemprotnya dengan sumpah serapah. Saya tidak rela dia menikmati hasil kerja saya dengan berleha-leha.
Setelah lulus SMP dan saya berencana menikah, saya tidak mau lagi menanggung hidupnya. Apalagi waktu itu calon suami saya berusia tiga tahun lebih muda dari saya, yang artinya hanya lima tahun di atas Yuri. Pikiran saya mulai tidak tenang, dihantui bermacam-macam pikiran buruk. Suami saya orang pendatang dan belum memiliki pekerjaan yang mapan. Usai menikah kami berencana tinggal di rumah itu. Rasanya tidak mungkin kami tinggal bersama dalam sebuah rumah sempit.
Untuk mencegah kemungkinan yang mulai menggelisahkan hati, saya mengajak Yuri bicara. Saya menyampaikan tentang rencana pernikahan itu dan memintanya untuk segera menghubungi ibunya. Yuri sepertinya paham maksud saya. Saya katakan bahwa sebaiknya dia tinggal bersama ibunya di Jepang supaya kehidupannya lebih baik. Akan tetapi, hingga hari pernikahan saya hampir tiba, Yuri tidak berhasil menghubungi ibunya. Waktu itu Yuri sudah lulus SMP dan mau masuk SMA dan saya tidak lagi mampu membiayai sekolahnya.
Saya sempat dibuat bingung beberapa saat, sebelum akhirnya menemukan cara mengeluarkan dia dari rumah. Seorang kerabat memberi informasi adanya sebuah pesantren yang membebaskan biaya untuk masyarakat yang tidak mampu. Saya mendaftarkan Yuri sebagai anak yatim piatu dan berharap dia beruntung mendapatkan kesempatan bersekolah di sana. Apalagi waktu SMP, dia juga tidak pintar-pintar amat di sekolahnya. Saya beberapa kali harus dipanggil karena Yuri bermasalah dalam pelajaran dan saya pikir pesantren lebih tepat untuknya.
Yuri sebenarnya tidak mau, tetapi mau bagaimana lagi. Dia tidak punya pilihan. Dia tidak bisa mengharapkan ibunya, dia pun tahu saya sudah keberatan merawatnya. Sempat terbersit rasa kasihan dalam hati saya kepadanya, anak yang dibuang oleh ibunya dan tidak jelas siapa bapaknya. Sejak kecil dia sering menanyakan ibu dan bapaknya. Saya dan ibu saya selalu menggeleng, kami memang tidak pernah tahu dan tidak diberi tahu. Kadang-kadang ibu saya hanya bilang kalau besar nanti ibunya akan menjemput dan mengajaknya tinggal di Jepang. Mungkin Yuri memupuk harapan itu di dalam hatinya. Hingga saat ibunya datang lalu meninggalkannya lagi, saya melihat Yuri sangat terpukul. Dia menjadi pendiam dan banyak mengurung diri di kamarnya. Mungkin dia merasa terbuang untuk kedua kalinya.
Saya mengantarkan Yuri ke pesantren satu bulan sebelum saya menikah. Dia bisa melanjutkan sekolah dan memiliki tempat tinggal, masalah kami terpecahkan. Akan tetapi kegembiraan itu barangkali hanya pikiran saya, karena setelah Yuri pergi saya menemukan sebuah kertas terselip di lemari di kamarnya.
Kertas itu mirip surat, ada tulisan tanggal di bagian kanan atas, ada nama pengirim di bagian kiri bawah, tetapi tidak ada nama tujuan. Membaca kertas yang lecek itu, saya merasa sangat sedih. Surat itu berisi ungkapan perasaan Yuri saat saya memberinya kabar bahwa saya akan memasukkannya ke pesantren. Begini yang dia tulis dalam suratnya :
Aku lagi-lagi dibuang. Anak buangan, nih. Sudah tiga kali. Hahaha. Kamu semua pasti nggak akan mengalami ini. Rekor lah. Ibu ngebuang aku, bapak juga nggak jelas siapa, eh, tanteku yang sejak dulu tinggal bersamaku pun akhirnya juga membuangku. Dia mau nikah dan katanya nggak mau lagi tinggal serumah sama aku. Dia nikah sama brondong, mungkin takut kalau suaminya bakal naksir aku kali, ya.
Sial betul nasib aku. Nggak ada yang beneran tulus. Cuma nenek, sih, tapi dia udah meninggal. Ya, sama juga ninggalin, sih. Bingung aku. Nggak tahu harus gimana. Kok, rasanya hidup ini nggak adil betul, sih, sama aku. Kenapa juga harus dilahirkan kalau nggak mau repot ngurusin? Kenapa juga masih hidup kalau cuma dibuat sengsara.
Hadeuh, di pondok aku mau ngapain? Jadi ustadzah? Masa bapaknya nggak jelas mau jadi ustadzah? Lawak banget, nih, emang tanteku.
Saya melipat surat itu dan menyimpannya. Kegetiran dan kegamangan menyelimuti hati, tetapi saya tidak punya pilihan. Karena saya harus berjuang untuk hidup saya sendiri, rasa bersalah itu harus dibuang. Setelah menikah tentu ada kemungkinan saya hamil dan punya anak, pengeluaran rumah tangga pasti bertambah, sedangkan gaji saya dan suami pas-pasan. Jalan satu-satunya, ya, mengirim Yuri ke pesantren.
Setelah dua tahun saya hidup tenang, suatu hari dua orang lelaki yang mengaku perwakilan dari pesantren mengantar Yuri pulang. Di data pesantren, saya adalah wali Yuri sehingga tidak salah jika akhirnya pihak pondok memulangkan dia ke rumah saya. Kedua pengantar itu mengatakan bahwa Yuri sakit dan pihak pondok tidak mampu lagi mengatasinya. Tidak dijelaskan dengan rinci penyakit apa yang diderita keponakan saya itu. Meski mulut menggerutu, saya menerima kedatangan Yuri yang diam saja sejak awal datang.
Penampilannya berbeda dari dua tahun lalu, tampak lebih kurus dan pucat. Begitu juga tatapan matanya yang kosong dan cekung. Saya akui, selama di pondok jarang menjenguknya. Hanya sesekali, seperti saat lebaran atau hari raya kurban. Yuri memang tidak pernah pulang meski libur Idul Fitri dan Idul Adha. Mungkin dia masih ingat kata-kata saya yang mengatakan bahwa rumah saya sempit jika harus ditempati bertiga.
Saat saya mencoba bertanya banyak hal padanya, tidak sebuah kalimat pun keluar dari mulutnya. Kedua bibirnya yang terlihat kering dan beberapa bagiannya terlihat mengelupas, terkatup sempurna. Karena kamar yang dahulu ditempati Yuri masih kosong, saya biarkan dia kembali menempatinya bersama barang-barang yang masih menumpuk di sana. Saya berharap itu hanya sementara sampai saya menemukan jalan keluar yang lain untuknya.
Keesokan harinya, saat saya menengok Yuri di kamar, dia tetap berada di posisi semula. Itu artinya, semalaman dia tidak tidur atau bahkan tidak bergerak. Saya heran. Ketika saya menyuruhnya ke luar untuk sarapan, dia bergeming. Raut wajahnya sama sekali tidak berubah. Perlahan saya mendekatinya, memanggil namanya berulang kali, berharap dia akan menanggapinya. Nyatanya tidak. Dia bisu atau nyaris seperti orang mati. Hanya kelopak matanya yang terbuka.
Tanpa menunggu Yuri makan, saya tinggalkan Yuri untuk bekerja. Suami saya juga bekerja. Dia sudah menemukan pekerjaan tetap sebagai satpam di sebuah pabrik. Saya masih bekerja di binatu, yang jarak dari tempat kerja ke rumah tidak terlalu jauh. Saat istirahat, saya pulang ke rumah. Yuri terlihat masih termangu di tempatnya. Makanan yang saya siapkan di meja juga tidak disentuhnya. Saya heran, apa dia tidak lapar? Apa dia tidak mengantuk? Posisinya juga terlihat masih sama seperti sebelumnya. Yuri nyaris seperti manekin, hanya kelopak matanya yang sesekali berkedip.
Dengan rasa penasaran, saya kembali menghampiri dan mengajaknya bicara. Dia masih tidak menyahut. Pandangan matanya bahkan tidak mengarah pada saya. Beberapa kali saya menggerakkan telapak tangan saya di hadapannya, sama sekali tidak ada tanggapan. Saya raba keningnya, tidak panas. Saya guncang-guncang bahunya sambil memanggilnya, dia diam tidak bereaksi. Saya mulai khawatir, sakit apa Yuri?
Karena waktu istirahat saya tidak panjang, saya kembali lagi ke tempat kerja. Saya bekerja dengan perasaan berkecamuk. Walhasil ada beberapa pekerjaan yang tidak saya kerjakan dengan benar. Bos sempat menegur. Pikiran saya dipenuhi keinginan segera pulang untuk membicarakan masalah ini bersama suami. Ketika jarum jam menunjuk angka lima, saya segera bergegas pulang. Sesampainya di rumah, saya masih menemukan Yuri dalam duduknya semula. Tidak bergeser sama sekali.
Malam harinya saya berdiskusi dengan suami, kami sepakat untuk memeriksakan Yuri ke rumah sakit terdekat. Saya terpaksa harus izin tidak masuk kerja dengan risiko upah dipotong. Namun saat bangun pagi hari, ada sebuah kejadian yang membuat saya terkejut bukan main. Entah kenapa, saya ingin sekali mengecek kondisi Yuri. Mata saya seperti mau meloncat ketika membuka pintu dan mendapatkannya di lantai sedang memeluk kedua lututnya tanpa pakaian. Tanpa sehelai pun benang.
Melihatnya meringkuk seperti janin dalam kandungan ibunya dengan kedua bahu mengigil, mulut saya tanpa sadar berteriak. Teriakan yang membangunkan suami saya dan membuatnya menghampiri. Namun, saya menyuruhnya menjauh. Saya tidak mau dia melihat tubuh Yuri yang putih dalam kondisi telanjang.
Sejak kapan Yuri ada di lantai dengan posisi seperti itu, saya tidak tahu pasti. Ketika saya menyentuh kulitnya, rasanya dingin. Mungkin dia sudah semalaman di sana. Saya segera menyelimuti tubuh Yuri dengan kain apa saja yang bisa saya gunakan. Saat saya berusaha membantunya untuk bangun, dia menolak. Tangannya mencoba melepaskan diri dari pegangan saya. Kain yang saya gunakan untuk menutupi tubuhnya berkali-kali di buang. Dia menolak di selimuti.
Setelah beberapa kali berusaha membujuk, saya mulai kesal dan membentak Yuri. Mendengar suara saya yang mulai meninggi, dia diam. Tubuhnya kaku tetapi tak lagi melawan. Dengan susah payah saya memapahnya naik ke atas ranjang kemudian memakaikannya pakaian. Saat saya memindahkannya, saya baru ingat bahwa Yuri sudah tidak mandi sejak pertama kali dia tiba di rumah. Rambut hitamnya lepek, wajahnya pucat, bagian bawah matanya hitam. Yuri seperti kehilangan kecantikannya.
Setelah mengelap tubuh Yuri dengan handuk dan air hangat dan mengganti pakaiannya, saya mengajak Yuri ke luar rumah untuk pergi ke rumah sakit. Sepanjang gang, para tetangga memperhatikan kami. Saya tidak tahu apa yang mereka pikirkan, sebagian menunjukkan wajah prihatin, sebagian sekadar penasaran, sebagian seperti mencibir, dan lebih banyak lagi yang sekedar berbasa-basi.
Jarak rumah sakit dan rumah saya tidak terlalu jauh. Saya menyewa sebuah becak yang mangkal di depan pertokoan untuk mengantar. Yuri tampak tenang duduk di sebelah saya. Tangannya memilin-milin ujung pakaian. Matanya menatap kosong ke depan. Raut wajahnya terlihat seperti penuh beban.