Tidak ada yang terjadi setelah tetangga kanan dan kiriku pindah. Suasananya hanya terasa lebih sunyi, tetapi tidak terdengar ada teror lagi. Penjaga keamanan perumahan telah bekerja cukup baik sehingga tidak lagi ada orang-orang tak dikenal yang bisa keluar masuk perumahan dengan mudah.
Aku sudah mengambil perpanjangan cuti supaya bisa kembali membaca bundel naskah yang dikirim Marlina sekaligus melakukan penelusuran untuk mencari jejak-jejak kebenaran pada tulisan sahabat masa SMP-ku itu. Apa yang ditulis Marlina seperti angin yang menyingkap kabut yang selama ini menutupi cerita dibalik kasus pencabulan santriwati di Joyogiri. Mungkin tak sepenuhnya sirna, kabut itu masih menggelayut dan menutupi bagian-bagian tertentu.
Apa yang ditulis Marlina dalam naskahnya tentu tidak bisa dijadikan bukti kebenaran. Dia bukan penyidik dan tentu bukan tugasnya mengungkap kebenaran. Akan tetapi, apa yang ditulis Marlina berdasar hasil wawancaranya dengan orang-orang disekitar pelaku seolah memberi gambaran lain yang lebih manusiawi. Ada cerita panjang yang terjadi jauh sebelum kasus pencabulan itu terjadi.
Aku terpikir untuk bertemu Mas Safiy yang sedang menjalankan hukumannya di penjara Joyogiri. Akan tetapi saat kuutarakan niatku pada Teguh—aku meminta bantuannya untuk menemaniku ke penjara, dia mencegahku.
“Itu tidak akan memberikanmu informasi apa-apa, Rin. Dan menurutku sudah terlalu jauh. Kasus itu sudah dianggap selesai. Jika ingin menggali kebenaran untuk melengkapi cerita yang ditulis temanmu, cukup gali lewat para korban.”
“Tapi ini tidak fair bagi pelaku. Sebuah cerita yang baik harus ditulis secara obyektif dari berbagai sisi. Tulisan Marlina akan sangat subyektif, hanya melihat dari sisi orang-orang di sekitar pelaku tanpa ada konfirmasi kepada pelaku. Apa, ya, namanya … seperti berpihak dan tidak komprehensif.”
Aku mendengar helaan napas panjang dari seberang. Mungkin Teguh tidak bisa menerima perkataanku. Mungkin dia berpikir apa yang mesti dibela dari pelaku? Aku menebak-nebak isi kepala Teguh.
“Jadi, kamu ingin melengkapi apa yang ditulis oleh Marlina? Begitukah yang Marlina harapkan darimu?” tanyanya kemudian dengan suara lirih.
“Aku … aku penasaran, apa benar dia melakukan itu semua karena terobsesi pada tanda lahir yang ada di dada korban. Apa dia menganggap tanda lahir itu sebagai sebuah karya seni atau semacam … fetish mungkin.” Aku berkata pelan, mencoba menerangkan hasil analisaku beberapa hari terkahir.
“Memangnya ada sebuah alasan yang bisa dibenarkan untuk menyakiti dan merusak masa depan orang lain?” Kembali kudengar hela napas panjang dari Teguh. Mungkin dia mulai kesal denganku.
“Tidak … tidak. Aku penasaran dengan alasannya bukan ingin membenarkan perbuatannya. Tetapi mungkinkah luka pengasuhan Mas Safiy semasa kecil menjadi penyebab semuanya bermula?” tanyaku ragu. “Atau jangan-jangan, ada orang lain yang membuatnya terobsesi pada tanda lahir merah di dada?” lanjutku seolah bertanya kepada diri sendiri.
“Apa maksudmu?” Teguh berseru.
“Kamu harus baca naskah hasil wawancara Marlina dengan …” Aku berusaha mengingat nama istri kedua Mas Safiy yang memiliki tanda lahir pada bagian dadanya. “Ningmas Ruroh atau Asma’ Masruroh. Dia istri pertama Mas Safiy, dan aku menduga Ningmas Ruroh ini lah yang kerap disebut-sebut oleh Yuri,” lanjutku.
“Lalu?”
“Aku menduga Ningmas Ruroh ini mengetahui kelakuan suaminya, tapi tidak berdaya untuk marah apalagi melarang. Dan dia melampiaskan kemarahannya langsung kepada korban-korbannya.”
“Tapi, Rin. Tidak ada hal seperti itu yang disampaikan Tony. Itu artinya dari korban-korban yang didampingi Tony tidak ada yang nyebut-nyebut Ningmas.”
“Nah … that’s the point.”
“Maksudmu?”
“Yuri bukan klien Tony, kan?”
“Sepertinya bukan.”
“Itu dia, artinya tidak semua korban speak up. Mungkin ada Yuri-Yuri lain yang memilih diam dan menanggung sendirian penderitaan itu. Mungkin ada korban lain yang tidak seberuntung Maya bertemu dengan Tony yang mau membantunya. Yuri dan Maya itu penggambaran dua korban dari sisi yang berbeda. Bagaimana jika sebenarnya kasus ini tidak benar-benar tuntas dan pelakunya belum terungkap semua?” Ucapku menggebu-gebu, merasa mendapat panggung untuk menjelaskan apa yang sedang aku pikirkan.
Aku tidak mendengar sahutan dari seberang, tidak juga ada dengusan napas Teguh. Sejenak kesunyian menyapa. Kubiarkan Teguh mencerna kata-kataku.